Saturday, July 20, 2002

TRAGEDI DAN KESENDIRIAN


Banyak para penyair yang dilahirkan dari tragedi. Begitu pula dengan filosof, banyak juga yang dilahirkan dari kesendirian.

Apakah yang terjadi bila tragedi dan kesendirian berkolase? Akankah lahir para penyair dengan nafas seorang filosof atau seorang filosof dengan dentam penyair pada jantungnya?

Aku menemukan kesamaan dalam tragedi dan kesendirian: sama-sama tragik, sama-sama soliter, sama-sama melahirkan keradikalan--terlalu-kiri, terlalu-kanan, terlalu-atas, terlalu-bawah, terlalu-tengah, terlalu-hitam, terlalu-putih, terlalu-abu-abu, terlalu-naif, terlalu-munafik--, sama-sama memproduksi ultra-kesadaran dan hiper-sensitivitas yang melampaui mereka yang menyebutnya dirinya sebagai manusia-normal.


"Tragikku adalah tragik dari sebelum tragik--tragik rangkap dua ..."
(dikutip dari novel Merahnya Merah, karya Iwan Simatupang)



TRAGEDY AND SOLITARY


Many poets were born from tragedy. An so the philosophers, many of them were born from solitary.

What if the tragedy and solitary collides? Is it possible to give birth to poets with breath of philosopher or the philosopher with beat of poet in his heart?

I have found similiarity between tradgedy and solitary: they both tragically, they both solitaire, both give birth to radicality--too-left, too-right, too-high, too-down, middle, too-black, too-white, too-grey, too-naive, too-hypocrite--, both produce ultra-conscience and hyper-sensitivity than they who called themselves normal-humanbeings.


"My tragic is tragic from before tragic itself--double tragic ..."
(quoted from novel Merahnya Merah, by Iwan Simatupang)

0 Comments:

Post a Comment

<< Home