Friday, February 28, 2003

[cerita pendek]

KEHENINGAN MALA
Firdaus Siagian



GELAP mulai merambahi bumi, Mala. Ia telah membungkus kita dalam selubung hitam sementara kita di sini hanya dipenuhi oleh nafsu-nafsu diam. Bukankah ini saat yang tepat untuk kita mulai merangsak?

Sudahlah! Hentikan dulu diammu itu! Apa yang sedang kau terawangi dengan memekuri bulan yang tak kunjung memamerkan sosoknya itu? Apa yang membuatmu menunggu, Mala?

Jawablah aku, Mala! Aku bosan berbicara sendiri sedari tadi. Cukuplah kau mematung!

Hei, apakah kau tuli? Keparat! Mengapa kau masih diam tak bergeming?

Angin terus melantunkan desah-desahnya yang senyap. Datang dari arah yang tak terduga, melintas, menari sebentar, lalu masuk ke tengah jumputan belukar menghilang entah kemana. Tujuan yang tak berdestinasi.

Akankah kita di sini terus, Mala? Atau seperti angin keparat yang tak kepalang tanggung dinginnya ini?

Mala, ingatkah kau mengapa kita di sini? Revolusi, Mala. Revolusi! Ha-ha-ha, sebentar lagi kita yang akan memimpin semesta ini.

Mala? Mala? Keparat kau! Mengapa kau terus mengacuhkan aku? Sudah mampuskah jiwamu?

Zikhar tak tahan lagi. Diterjangnya Mala, dicekik, digoncang, ditampar, berharap betina itu membalasnya sehingga ia tahu bahwa betina itu masih hidup dan ia tidak sendiri.

Betina. Begitulah Zikhar menyebut jenis kelamin Mala. Ia merasa tak pantas Mala disebut wanita, sebab tidak ada kelemahlembutan dan kepasrahan sebagaimana yang dimiliki seorang wanita dalam sosok Mala. Disebut perempuan juga tak pantas. Mala tak pernah menggugat mengapa ia dilahirkan dengan dada yang lebih menonjol dibanding lawan jenisnya atau mengapa kelaminnya memanjang ke dalam bukan ke luar seperti punya Zikhar. Ia tak pernah mendebat golongan seperti Zikhar sebagai musuh sebagaimana para mahluk perempuan itu selalu menyebut lelaki sebagai penindas, pemerkosa, lucah dan sebagainya. Ia tidak pernah dipusingkan dengan serapah-serapah semacam itu. Tidak juga dengan kelemahlembutan yang hipokrit.

Zikhar menyerah. Berkali-kali diguncangnya Mala, ditampar, tetap saja ia itu diam. Semakin kuat ia mencekik, semakin diam betina itu. Bahkan sampai ia menonjok dan meremas dadanya, Mala masih tetap mematung. Matanya terhunus pada langit yang kosong. Tak berkedip secercah pun. Benar-benar kosong seperti langit yang ia tatap. Bangsat! Apa yang sedang merasukimu, Mala? Zikhar semakin geram.

Kerasukan? Geram Zikhar berganti ketakutan. Kecut. Benarkah betina itu kerasukan? Setankah yang merasukinya? Atau hanya angin malam yang liar yang kadang suka menyusup pori-pori? Baru kali ini Zikhar benar-benar ketakutan. Bulu kuduknya meremang, seolah ada sosok besar yang sedang menghembuskan nafas ke tengkuknya yang telanjang.

Benarkah setan sedang merasukimu, Mala? Benarkah ternyata setan itu ada, tidak seperti yang kucemoohkan selama ini? Zikhar semakin mendesir… sendiri…

Sudahlah Mala, kesah Zikhar bergidik, kau membuatku tak tenang. Dan kau sendiri tahu bahwa ketidaktenangan bukanlah satu pertanda baik dalam perjuangan. Bisa mati kita. Malah sebenarnya kita telah mati walau kita masih bernafas dan belum terterjang peluru. Dan kau kini sedang membunuhku dengan diammu, Bangsat! Zikhar berteriak tidak tahan.

Teriakan Zikhar tak membuat kesunyian pecah. Yang ada tetap diam. Bersama diam itu sendiri. Zikhar semakin mengeluh. Tidak lagi lewat suara yang berpendar tapi dalam hati, seiring dengan denyut nafasnya yang menghentak-hentak sendat.
Lebih baik begitu, memang. Tak ada gunanya membuka suara bila tak ada yang mendengar. Memang lebih baik dalam hati. Toh, sama saja. Sama-sama tidak terdengar. Malah sebenarnya lebih menguntungkan. Sebab kita tidak perlu menarik urat leher.

Leher! Zikhar memandang ke leher Mala yang baru saja dicekiknya tadi. Terdapat bekas tapak memerah di atas pualam putih.

Menyesal juga ia telah melukai batang leher Mala yang bening itu. Seperti menara Daud, bila boleh mengutip rayuan Raja Sulaiman terhadap perempuan Sunem kekasihnya, begitulah keindahan leher Mala. Walau ia sendiri tidak tahu seperti apa menara Daud itu sebenarnya. Tapi pasti sungguh indah. Tak mungkin raja yang begitu berhikmat itu asal mencomot parabel. Bila Mala ada pada jaman Sulaiman, tentu raja itu akan berpaling dari perempuan Sunemnya dan balik mengejar-ngejar Mala. Dan rayuannya tentang menara tadi pasti akan ditujukan kepada Mala. Zikhar tersenyum sendiri. Senyum yang lebih sebagai penghiburan bagi dirinya sendiri.

Dan Mala tentu lebih perkasa dibanding perempuan Sunem itu. Bahkan lebih perkasa dari Xena, ksatria wanita dalam dongeng yang pernah ia dengar waktu kanak-kanak jauh sebelum perang ini pecah. Namun Mala tidak seberotot Xena. Ia memiliki kecantikan dan tubuh seorang wanita sejati serta semangat seorang perempuan tulen, tapi ia bukan dari jenis yang demikian. Ia tetap seorang betina.

Kecantikannya seperti Ester, saudara Mordekhai, yang dengan kecantikannya itu, ia pernah menyelamatkan bangsanya dari genosida yang tidak beralasan. Dan elannya seperti Debora, seorang nabiah bangsa Yahudi kuno, yang mampu memukul mundur musuh-musuh bangsanya sekaligus mempermalukan para lelaki sebangsanya yang pengecut, sepengecut para lelaki bangsa Mala sendiri termasuk … Zikhar.

*****

DALAM situasi tertelan keterkatupan yang senyap seperti ini, sosok keperkasaan Mala masih terlihat nyalang. Sekalipun kini gelap telah mengunyah habis terang matahari yang pongah, keperkasaan Mala tetap berkobar tak tersentuh. Sehingga jadilah ia kini sebagai nyala matahari yang kian menerang.

Sementara itu Zikhar kembali meracau. Keluh yang ia tahan sedari tadi menyumbat tenggorokannya kini memuntah kembali. Racauan yang semula penuh hunjaman kata-kata tajam kini tak lebih dari erangan kucing berahi atau kucing gila yang kehilangan anak: kosong, remah, buram, tak jelas dan sia-sia.

Zikhar kini benar-benar putus asa. Impian kemenangan gemilang yang sempat menari seronok dan menyanyi gegap di sepanjang labirin otaknya kini menghitam sesuram bibirnya yang hitam karena candu.

Makin jelas kini, betapa lelaki ini sungguh-sungguh sangat menggantungkan seluruh takdirnya di bawah kangkangan Mala. Seperti juga para lelaki lain sebangsanya, yang lebih memilih Mala untuk memperjuangkan nasib mereka sementara mereka sendiri lebih memilih berdiang di rumah yang hangat, bersenggama dengan istri mereka yang penurut dan menampar anak-anak mereka yang nakal, dibanding pergi berperang. Dalam hal ini Zikhar lebih baik daripada mereka itu, sebab ia turut berjuang. Itu pun mungkin karena Zikhar masih membujang dan tidak mempunyai pekerjaan yang lain. Entah bila ia telah menikah. Mungkin kelakuannya akan sama seperti para pengecut-pengecut itu. Bagi mereka, Mala sungguh-sungguh melebihi sosok Anubis, Artemis, Kwan-Im, Sri atau Perawan Maria.

Hening semakin tenggelam dalam kersau-kersau angin yang mengalir beku. Racauan Zikhar pun telah menjatuh sebagai bongkahan-bongkahan es yang putih mengkristal. Racauannya kini berubah menjadi gigil, walau Zikhar masih terus merangkainya menjadi kata (biar Mala kembali pada kesadarannya yang penuh, pikir lelaki malang ini). Namun Mala masih bungkam. Sebungkam binatang malam yang enggan keluar dan berkeceriap dalam cuaca laknat seperti ini.

Dalam kebungkamannya, Mala masih tetap menatap lurus ke langit. Seolah dengan bungkamnya ia hendak merobek perut langit dan memburaikan segala planet, matahari, bulan, bintang, galaksi dan isi perutnya yang lain sekalianan.

Keadaan ini sungguh mendebarkan Zikhar. Bahkan waktu pun ikut tersihir keheningan Mala dan ikut-ikutan diam. Ah, panjang sekali malam ini, desah Zikhar lagi. Jangan-jangan udara ini pun mendingin akibat sihir Mala yang akhirnya membuat dia mati dan membujur beku.

Zikhar semakin gelisah. Dan kegelisahan itu ia coba tuangkan dalam racauan-racauannya yang kian tidak berarti. Sungguh, benar-benar lelaki malang ….

Kesunyian Mala semakin menular, merambat ke segenap penjuru. Semuanya mendiam (mungkin Tuhan yang entah ada di mana itu juga turut diam!). Hanya gelap yang bergerak semakin menggagahi bunda bumi secara membabi buta.
Ah, inikah tanda dari kekalahan? Inikah ritus yang harus selalu dihadapi oleh para pecundang demi menangisi kemenangan yang terempas?

Ataukah, ataukah ini justru adalah subuh kemenangan yang selalu membuat jantung berdentam lebih cepat dan adrenalin meningkat dengan tajam itu? Mungkinkah gelap itu adalah berkas sinar kemuliaan kepak sayap para malaikat, dan sunyi adalah nyanyian gegap para serafim yang diiringi degup tambur-tambur yang riang? Ataukah .….. ataukah……ataukah?

Ah, Mala, keparat kau…! Jawablah aku, Betina! Tuntaskan penasaranku! Jangan engkau terlalu larut menikmati senggamamu dengan sunyi itu!

Hitam semakin mengkabut. Hanya Mala yang tetap menyala beku. Sementara Zikhar masih tetap terus berusaha mengeja racauannya yang semakin kabur dengan tertatih.


0 Comments:

Post a Comment

<< Home