Wednesday, February 26, 2003

Sewaktu medio Februari kemarin, ketika lagi balik ke Jakarta, aku nonton fil tengah malam. Aku lupa judul tepatnya. Kalo nggak salah Beyond Ozona. Di film tersebut, ada satu kisah yang diceritakan tentang gajah sirkus, Jumbo.



Pada tahun 1882, ada sebuah kekompok sikus yang besar. Salah satu bintang pertunjukkannya adalah Jumbo, seekor gajah besar, yang juga memiliki kekasih--yang tentunya gajah juga.
Suatu hari, setelah usai pertunjukan, Jumbo dan kekasihnya pulang ke perkemahan bersama para pelatihnya sambil menyusuri rel kereta api. Tiba-tiba sebuah kereta meluncur dengan cepat dari kejauhan. Saat itu, Jumbo tepat berada di tengah rel kereta, sementara sang kekasih beada tak jauh di depan bersama sang pelatihnya. Jumbo begitu terkejut melihat kereta yang melaju cepat tersebut. Alih-alih bukannya menyingkir dari tengah rel, ia hanya terpaku, tidak tahu harus berbuat apa.
Melihat Jumbo dalam hadangan bahaya, sang kekasih berteriak keras menyuruh Jumbo menyingkir. Pelatihnya pun turut berteriak dan berusaha untuk menghalau Jumbo.Namun Jumbo tetap diam dalam keterkejutannya. Hingga akhirnya kereta itupun melibasnya.
Jumbo terkapar parah dengan gadingnya sendiri menusuk ke dalam mulutnya. Ia begitu diam dan pasrah pada kematian. Sang kekasih menghampiri Jumbo dan meratapi tanpa tahu harus berbuat apa selain menangis. Ya, menangis. Saat itu sang betina menitikkan air mata seakan tidak rela Jumbo mengalami hal itu. Seaka ia ingin menguatkan Jumbo dalam penderitaannya. Seakan ia berkata, "Sayangku, tidak akan kubiarkan engkau pergi tanpa kehadiranku. Apapun yang dapat kulakukan untuk menyelamatkanmu atau sekedar dapat ikut bersamamu, akan kulakukan. Apapun itu". Para pelatih hanya terpaku. Mereka semua redam dalam keheningan duka. Seolah mereka sedang menanti saat-saat terakhir mengantar Jumbo pada gerbang perpisahan antara hidup dan maut.
Jumbo memang mati. Setelah kematiannya, sang kekasih terus dirundung kesedihan yang mendalam. Tak lama kemudian, sang betina menyusul Jumbo.



Cinta, kematian, dan kesetiaan.

Apakah yang dapat menjadi penawarnya? Bila memang cinta terlahir dari hati, apapun tidak akan pernah menjadi penghalang seseorang, atau bahkan seekor--seperti Jumbo dan kekasihnya, untuk tetap bersama. Itulah yangmungkin dapat dikatakan sebagai kesejatian cinta.

Aku tak pernah habis pikir, ketika seseorang mengucapkan cinta, apakah yang terkandung dalam pengakuannya itu? Adakah suatu niat yang tulus? Ataukah hanya sekedar keinginan sesaat yang semu? Sekedar keinginan untuk memuaskan daging yang selalu membutuhkan pemenuhan tuntutan atas segala keinginannya?

Apakah cinta yang sebenar-benarnya itu?

Cinta tidak dipandang saat seseorang berkata 'aku mencintaimu'. Itu juga bukan awal. Cinta adalah sebuah perjalanan. Yang entah dari mana awalnya, tapi pasti di mana akhirnya.

Kesetiaan adalah cinta.

Aku pernah menulis pada buku harianku--sekitar tahun 1997 kemarin, amor vincit omnia, cinta mengalahkan segalanya. Dan yang menjadi penegas bagiku untuk menulis hal itu kesetiaan, rasa penundukkan diri sepenuhnya kepada alter ego, kebersaerahan dan kemauan untuk berbagi apapun yang dihadapi, dialami, dipunyai dan dirasakan.

Ah, aku jadi teringat dengan alter egoku. Biarlah aku boleh menuliskan ini untukmu, Sayang: aku mencintaimu--ILYSM.


0 Comments:

Post a Comment

<< Home