Rethinking About ...
PERTEMUAN
Apakah esok akan ada atau tiada
Seperti awan yang di atas
Dan laut yang di bawah
Kita mungkin tak akan tahu kawan
Tapi sepasti mimpimu sepasti keyakinanku
Bila takdir menginginkan
Sayap terluka itu akan dapat terbang
Menjumpai langit tercabik yang payah merentang
Menyambut senja di antara tawa anak anak
Dan denting cangkir teh
Mengukir nada kenang
mengukir rasa takut mati
/jatinangor , 29 September 2003
Ini sajak diposting ulang ama seorang kawan buat mengenang masa-masa awal kita kenalan. Waktu itu dia kepingin pulang ke Indonesia, tapi kemungkinan pulangnya terancam gagal. Lalu dia bercerita betapa ia kangen ama seseorang yang dicintainya. Betapa dia kepingin ketemua dengan kawan-kawan yang dikenalnya semula dari layar maya.
Toh akhirnya dia bisa balik ke Indonesia juga. dan kita ketemuan. Dan dia juga ketemu sama Yang Dicintai. Dia juga ketemu ama kawan-kawan yang lain.
Ketika aku baca kembali sajak itu, aku dalam hati sedikit tersenyum. Sajak itu mempunyai makna eksistensial buatku. Maut, kegelisahan, hitam, kesamaran, dan tentu juga kebebasan. Semua itu ada padaku. Itu sebab kenapa aku menyebut diriku Sang Gelisah. Sajak ini membawa aku kembali ke masa-masa di mana aku begitu getolnya [dan bahkan masih hingga saat ini, namun dalam wilayah yang diperluas] menggali bahan eksistensialisme, terutama dari Jean-Paul Sartre.
2 Comments:
Apa pun yang terjadi, itulah takdir. Datang dan pergi tanpa peringatan. Kita lahir, hidup dan mati dalam belajar. Akankah manusia 'lebih baik' jika sudah tahu segalanya sejak awal?
Entah kenapa, aye kurang begitu percaya ama yang namanya takdir selain daripada kelahiran dan kematian. Di antara dua ujung itu, aye percaya kita sendiri yang nentuin jalan sejarah idup kita, Mpok ....
[dausz!]
Post a Comment
<< Home