Monday, August 05, 2002

SAJAK DOROTHEA ROSA HERLIANY


Kali ini saya ingin memasukkan sajak-sajak karya Dorothea Rosa Herliany, yang disebut Sutardji Calzoum Bachri dalam Rubrik Bentara Kompas beberapa waktu lalu sebagai 'chairil-anwar-perempuan-masa-kini'. Karyanya memang 'provokatif', dan itulah mengapa saya ingin memasukkannya dalam Ruang Baca | Reading Chamber saya, agar para visitor situs saya juga dapat menikmatinya, atau kalau nggak, ya setidak-tidaknya sebagai dokumentasi buat saya sendiri.

Selamat Menikmati! (Ih, kayak apa aja gitu?!)



sajak-sajak dorothea rosa herliany

NUMPANG PERAHU NUH

aku selalu tidur diatas perahu nuh.
melambung dalam riak katakata dan legenda.
kebahagiaan ada di pucuk mimpi.

sendiri di antara benihbenih. menghitung waktu
dan hari depan diantara derita dan bencana.
aku meletakkan tubuh diatas geladak. menitipkan
keselamatan dan harapan.

jika sempat kubuat, kubakar peta dengan kebencian
yang tanpa sebab. kupilih harapan dalam mimi gugur
daun zaitun.


NEGERI BENCANA

alangkah giris lagu hujan. musim yang
terlalu cepat menyeberangi tanahtanah
pecah dan padang tandus. kunikmati
kehangatan rindu yang berhamburan
bersama uaphujan.

tapi tak bisa kurasakan tanah bencana.
mangkukmangkuk bubur diaduk debu. dan
burung bangkai yang tak sabar menunggu.

tapi tak bisa kurasakan tubuh yang
gemetar. tulangtulang gemerutuk dan
pasirpasir yang tibatiba berdarah.

dengarlah angin : ia tak lagi menerbangkan
debudebu. tapi bau daging saudaramu.


IBADAH SEPARUH HATI

kuletakkan hatiku pada meja perjamuan.
telah sepanjang usia aku merendamnya dalam
darah. jiwa yang mengaliri doadoaku
saban hari.

makin lama aku makin tahu
tuhan cuma memberiku matahari terbit
dan terbenam.

jadi, biarlah kuletakkan hatiku
pada cawan. hidup dan matiku ada dalam jari
yang memainmainkan garpu: menciptakan
musik aneh dalam setiap aminku !


PUISI TAK SELESAI

betapa abadi tangisan yang disimpan awan
antara laut dan matahari.

aku menunggu di sawahsawah, bersama
suara katak dan serangga bernyanyi.

kutulis puisi dengan airmata petani
yang menanti musim panen,
dan janji musim.

tibatiba kaujadikan ayatayat
: yang kubaca di gereja
dan kusebar di jalan raya.

aku masih mencari kebenaran
sebuah puisi yang tak pernah jadi.


TARIAN RUMPUT

siapa bernyanyi mengubur sunyi
diantara angin gunung
dan lembahlembah.

tarian rumput menggetarkan padang.
bungabunga terbang disayapsayap
burung.

aku sendirian disemaksemak
: mendirikan ibadah dalam ayat
dan katakata.


Perempuan Berdosa

perempuan itu memikul dosa sendirian, seringan jeritannya
yang rahasia: berlari di antara sekelebatan rusa yang diburu
segerombolan serigala.
kautulis igaunya yang hitam, mengendap di bayang dinding
tak memantulkan cahaya.

perempuan itu melukis dosa yang tak terjemahkan
ia tulis rahasia puisi yang perih dendam dalam gesekan rebab.
lalu ia hentakkan tumit penari indian yang gelap dan mistis.

segerombolan lelaki melata di atas perutnya.
mengukur berapa leleh keringat pendakian itu.
sebelum mereka mengepalkan tinjunya
ke langit. dan membusungkan dadanya yang kosong:
mulutnya yang busuk menumpahkan ribuan belatung dan ulatulat.

perempuan itu membangun surga dalam genangan air mata.
menciptakan sungai sejarah: sepanjang abad!

Februari, 2000



Tembang di Atas Perahu
seperti di atas perahu kecil sendirian
aku terombangambing ombak kecil dalam tubuhku
jika aku terlelap, kumimpikan pangeran dengan jubah berderai
dan rambut mengurai beribu kalimat dengusnya yang dusta.
kulihat pancuran dari pedangnya yang panjang dan gagah.
kutiup terompet gairahku dalam tetembangan dari tanah jauh.
alangkah ngelangut. alangkah deras rindu tanpa alamat.
alangkah sunyi dan palsu impian.

seperti di atas perahu kecil sendirian
aku terjaga. tak teratur napasku. mencari beribu nama
dan alamat. dalam berjuta situs dan bermiliar virus. berbaris
cerita cabul pesanpesan asmara yang memualkan.

aku sendirian, seperti lukisan perempuan di depan jendela
: memandang laut biru di batas langit. sambil membendung
badai dan ombak yang mengikis karangkarang.

Februari, 2000



Telegram Gelap Persetubuhan

kukirim telegram cinta, untuk sesuatu yang deras, mengalir ke ubun,
yang ganjil, yang kucari dalam ledakanledakan. yang kutemukan
dalam kekecewaan demi kekecewaan.

kukirim beratus teriakan kecil dalam gelombang tak berpintu.
membenturbentur dinding dan kesangsian. kuberikan berdesimal
ciuman bimbang. sampai hangat membakar dari mata terpejamku.

kukirim sebaris telegram cinta: lewat lelehan keringat dan
dengus nafas liarku. yang menyisakan sebaris kalimat bisu
dalam gelembung racun kebencian.
dan setelah itu kutulis cerita cabul yang memualkan,
tentang seekor kelinci lemah berbaju gumpalan daging
dalam sederet langkah "the man with the golden gun."
kukirim ke alamat persetubuhan paling dungu.

mengapa kaukutuk kesenangan kecil ini. sambil kausembunyikan
lolongan anjing dan ringkik kuda sembrani dalam berhalaman kitab
atau berbaris grafiti di dinding luar menara.

diamlah dalam kelangkangku, lelaki.
sebelum kaukutuk sebagian fragmen dalam cermin bekumu,
sebelum aku menjadi pemburu sejati: untuk membidikkan panah
yang kurendam racun beratus ular berbisa.
dan kibas jariku melemparkan bangkaimu
ke lubuk senyum nikmatku paling dungu.

Februari, 2000


N.B.

seperti kalau kita berjalan di pusat perbelanjaan,
di pinggirpinggir toko dan kaki lima
segalanya menggoda kita untuk melihat: dengan nyata!
hanya lemari kaca dan etalase, kalau saja kita
bukanlah sekelompok orang renta dan tua dengan mata rabun
atau si buta dengan tongkatnya.
segalanya begitu nyata!
atau kalau saja kita bukan bayi yang berjalan merangkak
atau anakanak usia bermain yang hanya tergoda kegembiraan.

apa yang tak terlihat?
bahkan suara orangorang gelisah sepanjang jalan
dan rengekan pengemis yang lapar.
lagulagu sumbang pengamen, atau bahkan, kalau bisa bersuara,
bisikan sedih sesuatu yang dijajakan itu...

tetapi kita tidak melihat apapun. seperti kalau kita berjalan
di ruangruang tanpa cahaya. bahkan ledakan bom dan
tembakan meriam tak bisa kita dengarkan.

Jakarta, 1999



Sebuah Radio Kumatikan

--fragmen ke-25

malam sudah amat jauh, tapi siapa yang masih sibuk
bercakap tentang waktu. aku diam saja. telingaku membatu
--masih terus kau bercakap tentang segala sesuatu itu.


di luar sana gonggongan anjinganjing liar. mungkin
segerombolan hantu dan ketakutan. atau kebencian merambat
lewat gorden, dan mengintipmu

jadi, kau mendengar apa saja. kau melihat apa saja.
mengapa meringkuk dalam selimut kecemasan itu?



IBADAH SEMAK SEMAK

kukubur harapan yang koyak,dalam badai
kensunyian batinku. pada sebuah bukit semaksemak
merimbun. di seberang sungai: ilalang liar dan
gubuk tanpa penghuni.

aku tafakur: mengeja katakata yang meluncur,
dalam doa tak jumpa amin.

kubuka kitab: kalimat dan bahasa tak bisa dibaca.
kukubur imanku dalam ibadah senyap, berlembarlembar
madah digumamkan.

aku ziarah, menatap tubuhku sendiri,
yang bekku dicekam sunyi.



YANG KUGENGGAM

yang kugenggam ini
mungkin bayangbayangku
sendiri: menggeliat
waktu kuberi nafas.
dan menatap,
waktu kutetesi darah luka.

ketika ia bangkit,
cepatcepat kutikam
dengan tombak.
tidur abadinya akan lebih
sempurna
menyimpan luka dunia.


BUNGA YANG TUMBUH DALAM DARAH
bunga yang tumbuh dalam darah,adalah
keringat yang kita tanam bertahuntahun,
dari dendam dan kebencian.

warnawarna elok dan harum yang menayang.
mabuk kumbang mabuk kupukupu.

kegelapan sembunyi didalam taman. kehidupan
mengalir meski nadi tersumbat. tapi lihatlah
ulatulat itu, menepi pada kelopak, jatuh
di daun, dan merampas seluruh kehidupan.

tak sempat jadi kepompong.
tak sempat jadi kupukupu.



LUKISAN WAKTU

pintu itu sudah setua hidupku. sejarah dan waktu
berlintasan dalam geritnya. hingga tak perlu kauketuk
setiap kali akan memasukinya. cuma, bertanyalah
sebab apa ia kemudian terkunci ketika sampai waktu
kereta
menjemputmu. kerinduan anakanak di luar,
mengaburkan
kesunyian yang gaib. menggetarkan seribu bahasa
diamnya.

bahasa apakah harus kuucapkan dalam syairsyairku,
sebab kebisuan tumbuh di keningku. kegaduhan batinku
telah mengaliri suarasuara keriuhan anakanak itu.
tapi tak juga nganga pintu itu. sedang waktu dan usia
telah berlepasan dari hidupku. tak juga nganga.



NIKAH DANAU

dari mata air itu kubasuh cermin di wajahmu.
kulihat wajah entahsiapa: dan aku pangling gambar
sendiri. waktu cuaca terbentang bagai layar
yang terkoyak-koyak.telah kau hitung,berapa
panjang usia.

mata air itu menciptakan danau. makin sulit kukenal
gambargambar asing. kerbau dan segala ternak berdebur.
melupakan matahari. melupakan kemarau yang
mengintip
ilalalng kerontang di padang.

pada buku harian aku mencatat: para petani
memeras keringat dan airmata. dengan sekujur
ibadahnya.


TANAH AIRKU

kurindukan kepompong. pertapaan sekian
abad menunjam tanah tak subur bagi taman
bunga bangkai. kurindukan daun. ulatulat
memangkasnya. kupukupu tak terbang karena tanggal
sayapsayapnya. kurindukan kepompong.

tanah airku lumpur dan bebatuan. padang
amat luas. cakrawala dan alangalang. tak ada
rumah buat ulatulat dan kupukupu. tapi selembar
hatiku
masih basah. masih kuat aku mengalirkan darah.

tanahairku lumpur dan bebatuan. tanah airku
lumutlumut dan selembar hati. bertapalah !


NYANYIAN KEHILANGAN

sebab gorden terbuka.
dan wajahmu mengabur
dalam hujan
di kaca jendela.
dalam usia yang merambat
pada kalender: abadabad tua
yang terlepas ke lantai.

(dan lukisan itu
kembali menempel pada dinding.
membiaskan batu tanah
yang menyingkir dari dekap
hujan)

masih kucium amis nafasmu.
memburamkan kaca
pada pigura itu. dan
wajahwajah di dalamnya
: mengabut. fana !

dikutip dari situs Cyber Sastra

0 Comments:

Post a Comment

<< Home