Friday, February 28, 2003

[cerita pendek]


ENGKAU HANYA PADA MASA LALUKU
Firdaus Siagian


SUATU hari ketika aku sedang menikmati makan malam di kedai langgananku, seorang sahabat mengenalkanku pada seorang kawan wanitanya. Namanya, …, ah, aku lupa. Kau tahu, saat itu aku seakan mengalami de javu. Aku teringat akan engkau. Aku merasa berkenalan dengan engkau kembali. Tidak terasa memang, sudah lima tahun aku tak pernah menghubungimu. Aku merindukanmu.

*****

AKU masih ingat tujuh tahun yang lalu ketika aku pertama kali berjumpa denganmu. Sungguh pertemuan yang tak pernah dapat kulupakan. Saat-saat selanjutnya adalah saat-saat kita saling berbagi tentang diri kita masing-masing. Engkau tahu bahwa aku mencintaimu saat itu. Aku pun tahu bahwa engkau juga mencintaiku, walau itu tak pernah terucap dari bibir ranummu. Aku tahu karena aku dapat membaca perlakuanmu terhadapku. Dan setidaknya aku mengetahui itu dari Dwi, sahabatmu. Itu sudah cukup menjadi alasan buat aku untuk bermegah atas dirimu, bukan?

Aku pun tak pernah membicarakan perasaanku padamu. Aku terlalu takut. Aku terlalu malu. Aku tahu siapa diriku, dan itulah mengapa aku sadar untuk tidak mengatakan perasaanku padamu. Lagipula, pandanganku tentang hidup berbeda dengan pandanganmu. Walaupun sebenarnya kita dapat menyingkirkan semua perbedaan yang tidak zakelijk itu, tapi aku terlalu takut untuk menghadapi pertentangan yang akan kita hadapi ditengah perjalanan kisah kita nanti. Aku terlalu takut untuk menentang orang-orang yang aku hormati. Orang-orang yang aku segani. Orang-orang yang telah berusaha menjadikan aku seorang manusia.

“Adalah lebih baik jika sepasang kekasih tak pernah bersatu jika suatu saat mereka harus terpaksa berpisah dan dipaksa untuk saling membenci satu sama lain,” kataku suatu saat ketika kita sedang iseng membicarakan cinta.

“Mengapa demikian?” engkau heran.

“Kautahu sulitnya untuk meninggalkan orang yang kita kasihi. Seperti mati rasanya. Daripada merasakan itu, lebih baik menyimpan cinta dalam hati.”

“Jika menyimpan cinta seperti itu, maka kita seperti menyimpan lilin yang sedang menyala di bawah tempurung. Engkau akan mati seperti nyala cinta yang mati karena dinginnya hati. Hampa tak ada udara”.

“Kau salah dalam mengambil perumpamaan. Sesuatu yang tersimpan dalam hati takkan pernah mati! Justru ia akan awet karena tersimpan seperti dalam kulkas,” aku bersikeras.

“Mengapa tak rela mati demi cinta? Seperti Romeo dan Juliet. Cinta mereka abadi.”

“Aku tak pernah mempercayai khayalan Shakespeare yang satire itu dapat terjadi dalam kehidupan nyata. Yakinkah engkau bahwa mereka akan bertemu di surga cinta? Setiap orang yang mati bunuh diri itu masuk neraka!” kataku, “Bagiku adalah suatu kebodohan untuk bunuh diri demi yang namanya cinta. Suatu pengorbanan yang sia-sia!”

Aku tak mau mati untuk sesuatu yang bernama keabadian cinta yang tak tentu jelasnya di alam sana. Entah menurut pendapatmu. Sebab engkau langsung terdiam mendengar jawabku.

*****

Bukannya aku menyalahkan, tapi karena keadaan yang berbeda di antara kitalah yang membuatku aku tak dapat mencintaimu terang-terangan. Aku hanya dapat mencintaimu hanya dalam batinku saja. Aku hanya dapat memujamu sebagai dewi dalam goresan tulisan pada buku harianku. Aku hanya bisa membayangkan bermesraan denganmu hanya dalam bayang-bayang imajinasi yang kubiarkan liar menari. Tapi, sumpah, aku tak pernah membayangkan hal tak senonoh atas dirimu! Aku tak dapat bermasturbasi dengan membayangkan kemolekan tubuhmu yang telanjang. Bahkan aku tak dapat membayangkanmu telanjang! Engkau terlalu sakral jika hanya untuk kelucahanku. Terkadang aku bahkan berani untuk berpikir bahwa engkau seperti Tuhan, bahkan lebih dari sekedar Tuhan bagiku. Aku pikir seorang Romeo atau Rama pun tak dapat menandingi kesucian cintaku padanya.

*****
AKU terkenang pada saat aku harus meninggalkanmu merantau demi cita-cita yang telah kugantungkan pada untaian bintang-bintang mimpi selama ini. Bahkan hangatnya genggamanmu pada tanganku masih berasa sampai kini.

“Jangan lupakan aku,” terngiang ucapanmu disambangi oleh senyuman manis.

Ah, senyuman manis itu pun takkan pernah dapat terlupakan. Senyum manismu yang sebenarnya getir. Jangan membodohiku, aku tahu kau menangis saat itu. Tapi kau tahan airmatamu agar tak jatuh. Aku tahu engkau malu jika aku memergokimu menangis, sebab aku akan menggodamu jahil. Tapi waktu itu jika engkau menangispun, aku takkan menjahilimu. Mungkin aku juga akan turut menangis.

“Aku takkan melupakanmu. Aku berjanji akan menghubungimu sesering mungkin.”

Aku pun pergi. Bahkan hingga kepergianku, aku masih tetap tak tega untuk mengatakan cintaku. Aku takut membuatmu menunggu dalam ketololan. Aku takut perjalanan kita nanti sia-sia. Jadilah engkau hanya sebatas dewi dalam catatan harianku saja.

*****

HAH! Betapa gombalnya aku berjanji untuk menghubungimu setiap saat. Kenyataannya hanya selama setahun kurang aku menghubungimu. Di perantauan ini pun pernah hatiku terpikat pada kupu-kupu yang lain. Entah semacam pelarian. Entah karena memanfaatkan kesempatan. Aku juga berusaha mengepakkan sayapku untuk menjelajahi dunia baruku. Aku pernah seorang optimis, pernah pula seorang apatis. Aku pernah seorang bohemian, pernah pula seorang satire. Aku pernah seorang aulia, pernah pula seorang sarkas. Begitu terlenanya aku terbang, hingga aku melupakanmu. Sungguh, engkau telah terlupakan. Aku telah menarik ludah yang pernah kujatuhkan waktu itu.

*****

9 MEI. Perkenalanku dengan Muti – ah, akhirnya teringat juga nama gadis itu – inkarnasimu di perantauanku, membuat aku kembali membuka catatan lamaku tentang dirimu. Catatan-catatan di mana dirimu pernah tertanam.

Membuka kembali hari-hari aku begitu memujamu, hari-hari penting yang pernah kita rayakan bersama. Sebentar, hari-hari penting? Bukankah sekarang adalah hari ulang tahunmu? Salah satu hari penting yang pernah kita rayakan bersama?
Aku bergegas meneleponmu. Tak ada yang mengangkat. Berkali-kali selama dua hari berturut-turut aku menghubungimu. Tetap tak ada yang mengangkat. Entahkah engkau sedang pergi. Entah engkau telah pindah. Atau entah engkau kini telah menikah. Atau jangan-jangan malah engkau sudah …? Ah, tidak mungkin! Engkau terlalu muda untuk mati. Lebih baik memikirkan engkau telah menikah daripada engkau telah mati.

*****

Kau tahu mengapa aku ingin menghubungimu? Selain mengucapkan selamat atas ulang tahunmu, aku juga ingin mengatakan bahwa aku pernah melupakanmu. Dan aku ingin engkau pun untuk melupakan aku. Aku tak sesetia seperti yang pernah aku janjikan. Terlalu lama aku melupakanmu sehingga tak ada lagi keinginan yang seperti aku miliki dulu akan dirimu. Aku ingin memiliki dewi yang lebih nyata dibandingkan eksistensimu selama ini. Engkau sekarang tak lebih dari hanya segores coretan yang pernah ada pada sepanjang rajutan hidupku. Engkau bukan lagi kerinduan terpendamku.

Nyala cintaku terhadapmu telah padam seperti nyala lilin dalam tempurung, tepat seperti apa yang telah kauucapkan padaku dahulu. Hanya itulah perkataanmu yang benar. Sungguh, kini aku tak menginginkanmu.

*****

Jatinangor, 10 Mei 2002

0 Comments:

Post a Comment

<< Home