Tuesday, December 09, 2003

PM: 2. GARUK... GARUK... KE PUNCAK GUNUNG...


Tadi pagi saya harus ke Jakarta kembali karena selama seminggu ini saya tidak bisa mengakses kamar gara-gara kunci kamar lupa saya bawa saat kembali ke Bandung hari Rabu kemarin. Lumayan capek sih. Pergi jam delapan pagi dari tempat kost, dan kembali lagi di Jatinangor sekitar jam sebelas malam.

Waktu bis yang saya tumpangi mulai bersiap meninggalkan terminal Kampung Rambutan, ada pemandangan yang bikin miris. Apalagi kalau bukan tren garuk-menggaruk yang kini lagi getol-getolnya dilakonin oleh aparat Pemda DKI seperti halnya remaja putri ABG keranjingan F-4.

Yang membuat saya miris adalah ketika melihat botol-botol minuman ringan yang masih bersegel pecah berserakan di tepi jalan, bungkus-bungkus rokok yang peyang diinjak-injak aparat, dan gerobak-gerobak yang digulingkan dengan pongah. Seola-olah aparat sedang menjalani lakon wayang orang saat terjadi bubat. Seolah-olah mereka adalah Batman yang sedang menjalankan kewajiban menghancurkan kejahatan. Mata mereka dibutakan oleh congkak. Atau bisa jadi mereka tidak mau kelihatan begitu lemah lembut menghadapi para pengasong saat disorot oleh kameramen televisi swasta. Selayaknya jagoan, mereka harus tampil sesangar mungkin dan segalak mungkin. Kapan lagi mereka bisa disorot kamera dan masuk ke acara televisi. Dan sudah sepatutnya jika mereka harus tampil sebaik-baik mungkin.

Padahal Batman nggak kayak gitu deh.... Yang merasa bangga dengan penampilan sangar hanyalah preman dan para tukang sajak yang berlagak mabuk di atas bis biar ditakuti dan mendapatkan "sedekah". jadi, sebenarnya patut dipertanyakan, darimana doktrin yang dicekokkan ke dalam otak aparat kita itu sehingga mereka punya pikiran semacam itu. Jangan-jangan mereka belajar secara otodidak dari mereka yang suka nongkrong di gedung DPR/MPR di Senayan sana dan mereka yang pakai badge kabinet republik ini? Entahlah....

Saya teringat berita pada beberapa waktu yang lalu, saat Sutiyoso mengijinkan para pedagan kakilima memakai sebagian badan jalan untuk lahan berjualan di daerah Cawang dan Pasar Senen. Tapi sekarang, dia malah menjilat ludah sendiri. Dia garuk dan babat pedagan kakilima.

Masih mending bila dia "menertibkan" para pedagang tersebut dengan sebuah solusi pemecahan masalah, seperti bagaimana penempatan mereka setelah ditertibkan karena biar bagaimanapun juga, berdagang adalah matapencaharian mereka. Alih-alih menghancurkan barang dagangan mereka, adalah lebih baik bila para aparat lebih bertindak arif, bijak dan manusiawi tanpa meninggalkan sisi ketegasan, tentunya. Bukankah "manusiawai" adalah salah satu moto DKI?

Sikap represif aparat terhadap para pedagang kakilima sangat patut disayangkan. Bukankah kekerasan selalu menghasilkan kekerasan? Dan kekerasan yang semakin berakar pangkat ini makin lama makin bisa menjadi bara yang hingga tiba waktunya menjadi letupan yang tak terduga.

Pun seharusnya pemerintah DKI seyogianya memiliki kemampuan berempati terhadap para rakyat kecil. Coba bayangkan, Bang Yos, bagaimana bila rumah Anda harus digusur tiba-tiba saat hari raya Idul Fitri dan dagangan anda dibanting-banting, sementara hanya itulah satu-satunya sumber kehidupan bagi Anda sekeluarga.

Ah, tapi rasanya mustahil Bang Yos mampu merasakan kepahitan macam apa yang ditimbulkan dari perlakuan-perlakuan seperti itu. Wong, rumahnya aja di daerah Menteng yang sangat aman dan nyaman. Lagipula, Bang Yos kan nggak jualan teh botol dan rokok ketengan, tapi jual proyek pembangunan.. upss... Tapi bener kan, Bang? Hehehe...


/jatinangor, 9 Desember 2003, 01.10am

0 Comments:

Post a Comment

<< Home