Tuesday, December 02, 2003

Pojokan Milis: 1



PM: 1. KEMBALI FITRAH


Pada Lebaran kedua, saya menonton televisi yang headlinenya sudah pasti dapat ditebak dengan mudah, yaitu mengenai malam takbiran yang dirayakan di berbagai tempat dan oleh berbagai lapisan kalangan. Sambil menikmati ketupat kiriman tetangga, perasaan saya miris saat melihat dua tayangan berita utama.

Berita pertama adalah tentang perayaan takbir yang dihadiri Mega, Taufik Kiemas, Sutiyoso dan para pejabat dan yang merasa pejabat di Islamic Centre, Kramat Tunggak (bekas lokalisasi WTS terbesar di Jakarta yang digusur oleh Sutiyoso). Mereka tentunya hadir dengan pakaian terbagus mereka yang indah-indah itu dan dengan hiasan senyum yang entah apa maknanya.

Setelah berita itu, disusul tentang perayaan takbir yang dirayakan bersamaan oleh para penduduk Kali Adem yang merupakan korban gusuran beberapa hari sebelumnya di antara puing-puing kediaman mereka. Betapa trenyuh melihat mereka mengumandangkan takbir disertai tangis. Mereka bertakbir di tengah-tengah kumpulan tenda darurat yang seadanya terpancang dan berdesak-desak bersama barang-barang yang mereka anggap bernilai dan bisa mereka selamatkan.

Di pikiran saya juga sempat terlintas, di manakah para "tuna susila" yang telah terusir dari Kramat Tunggak itu merayakan takbir? Apakah di benak para pejabat atau yang merasa dipejabatkan itu tak terlintas sedikitpun kesusahan penduduk Kali Adem dan tentunya penghuni daerah-daerah lain yang selama ini menjadi korban gusuran Pemda DKI yang konon katanya "demi kepentingan orang banyak" itu? Dan yang melintas di pikiran saya saat itu adalah wajah Sutiyoso yang senyum sumringah menyambut kedatangan Mega dan berdampingan dengan bayangan itu adalah takbir yang keluar haru dari penduduk Kali Adem.

Idul Fitri adalah hari kemenangan di mana umat Islam difitrahkan kembali setelah sebulan menjalankan ibadah shaum. Dan kefitrahan ini disalahartikan oleh para pejabat kita untuk mem-"fitrahkan" ibukota dalam artian fisik dari berbagai macam kuman penyakit urban seperti pemukiman kumuh, pengangguran dan semacamnya.

Mereka mungkin alpa atau sengaja meng-alpa-alpa-kan bahwa di atas semua itu, kefitrahan yang hakiki yang seharusnya dipetik setelah melewati Ramadhan adalah kefitrahan hati, jiwa dan sikap-sikap. Jiwa tidak lagi dikotori dengan mental yang mau menang sendiri atau dengan mudahnya melempar akibat dari kebodohan sendiri dengan menuding pihak lain sebagai penyebabnya. Kefitrahan yang membuat kita mampu melihat jernih dengan mata hati sehingga dapat bertindak bijak dan tak mudah dikecoh oleh keserakahan. Kefitrahan yang memampukan kita berani mengakui kesalahan kita di depan umum tanpa harus mereka-reka alasan dan apologi palsu dan hipokrit.

Dan apa yang dilakukan pejabat penggusur itu? Mereka membuat iklan layanan yang menyarankan para korban gusuran dengan iklas dan lapang dada menerima penggusuran itu sebagai sebuah tindakan terpuji dan patriotis karena mereka telah mendahulukan kepentingan orang banyak dibanding kepentingan pribadi. Jadi, jika anak-anak mereka sakit diare, demam atau semacamnya karena tidak mendapat tempat tinggal dan perawatan kesehatan yang layak paska-penggusuran, itu artinya adalah mereka telah melakukan tindakan heroik yang menyelamatkan muka bangsa ini (dan tentu saja muka pejabat kita, iya kan?)

Kalau kita sempat melihat iklan ucapan selamat Idul Fitri dari Ibu Presiden kita, tentu kita dapat menangkap makna iklan itu dengan mudah: setelah diri kita difitrahkan, apakah kita akan mengotorinya kembali? Sebuah pesan yang bagus, bukan? Mudah-mudahan pesan itu bukan sekedar alat kampanye terselubung menjelang Pemilu 2004, tapi lebih merupakan suatu ucapan yang tulus dan suatu hasil dari permenungan yang dalam dan sungguh-sungguh dari para pemimpin kita untuk memperbaiki diri dan sebagai usaha untuk tetap mempertahankan kefitrahan diri, sehingga mereka mampu menjalankan kemudi bahtera republik ini dengan hati, pandangan, pikiran dan semangat yang bersih. Amin.

Saya mengucapkan selamat Idul Fitri, mohon maaf lahir bathin. Walau telat, namun semoga tetap bermakna.


/jakarta, 26november2003 - jatinangor, 2desember2003

0 Comments:

Post a Comment

<< Home