Thursday, October 28, 2004

Aku Menunggumu Di Tribun Stadium

Aku lihat seorang gadis duduk di tribun stadium. Resah. "Menunggu kekasihku," katanya malu-malu kepadaku. Pipinya yang berisi menyemu merah. Siang ini terik sekali. Matahari kiranya sedang bersemangat sampai-sampai panasnya menguapkan harum bunga rumput di tepian stadium.

"Pukul duabelas ia berjanji kepadaku. Dan sekarang sudah jam satu lebih, kekasihku belum datang juga." Tapi dia masih setia menunggu. Di bawah atap tribun cuma ada dia, si perempuan itu. Menunggu kekasihnya dengan sepenuh cinta. Dan sepenuh gelisah.

Aku cenung. Bahagianya bila ada yang menungguiku dengan sepenuh rindu seperti itu. Tapi aku adalah awan yang harus selalu berarak. Selalu begitu, tanpa stasiun. Dan siapakah yang hendak menungguku? Di manakah ia akan menungguku?

Dan di manakah ia, sang kekasih yang ditunggu-tunggu perempuan itu? Keterlaluan bila ia lupa! Ingin rasanya aku mampir dan menemani sekedar mengusir gelisah. Tak baik seorang perempuan sendirian dalam ketakpastian. Tapi apa yang dapat dilakukan awan selain berarak dan melintas? Kami tak punya kata henti. Tak ada yang menanti.

Gadis itu masih menunggu. Jam dua, jam tiga, jam lima berlalu. Matahari terlalu letih kiranya membakari tanah dengan semangat menyala-nyala. Cahayanya kini redup.

Dan perempuan itu masih setia menunggu sang kekasih di tribun stadium.



/jatinangor, 28 oktober 2004

0 Comments:

Post a Comment

<< Home