Sunday, October 31, 2004

Sebuah Kafe, Hari Ini

Hari ini saya janjian ketemu dengan wanita yang kucintai di sebuah kafe kopi di simpang jalan sana. Kami berjanji untuk ketemu di situ pukul sembilan pagi. Dan janji itu kami buat jauh-jauh hari. Empat bulan yang lalu.

"Apakah tidak terlalu lama untuk membuat janji inden 4 bulan?" tanya saya saat dia menelepon waktu itu.
"Apakah itu terlalu lama menurutmu?" tanyanya kembali. Terntu saja saya tak bisa menjawabnya. Mana mungkin saya bisa menjawabnya. Pertanyaan itu seperti buah simalakama. Dan saya takut salah kata.
"Baiklah. 4 bulan lagi. Jam sembilan". Saya tak dengar suaranya. Tapi saya bisa rasakan senyumnya.

Dan empat bulan pun berlalu, lalu tibalah hari di mana kami akan bertemu. Saya akan ketemu dia yang kucintai yang tak pernah saya lihat sebelumnya. Dia akan menemui saya yang mencintainya yang tak pernah ia lihat sebelumnya. Dan kafe ini kelak menjadi saksi pertemuan dua orang yang sebelumnya tak saling kenal.

Dan jam sembilan pun berdentang. Saya sudah duduk di sini sejak beberapa menit yang lalu. Sepagi ini kafe tentu belumlah ramai. Maka aku bisa leluasa memilih kursi yang terbaik dan strategis. Saya pilih yang dekat jendela. Tapi dia belum datang juga. Saya mulai memesan cappucino. Tak enak rasanya duduk di sebuah kafe hanya untuk duduk tanpa memesan sesuatu. Mata para pekerja di situ seperti mata pisau yang ditodongkan oleh yang-baru-keluar-dari-penjara di atas bus kota yang selalu meminta belas kasihan dengan memohon sekaligus mengancam. Walaupun sebenarnya, mata pelayan wanita yang menyapa tadi sangat lembut dan manis.

"Saya akan memesan setelah yang saya tunggu datang," jawab saya dengan senyum yang sehalus mungkin. Dia membalas senyuman saya dan kembali ke balik bar di ujung sana. Tapi toh akhirnmya saya harus memanggil dia juga untuk memesan.

Setengah sepuluh. Dia belum datang juga. Jam sepuluh. Jam dua belas, kafe mulai agak ramai. Kursi-kursi penuh. Seorang nenek masuk kafe dan kebingungan mencari kursi kosong. Hanya ada satu yang kosong, yaitu ditempatku duduk, kursi yang kurencanakan untuk wanita yang hendak kutemui. Tapi nenek itu akhirnya duduk juga di situ. Kasihan juga lihat wajahnya yang agak letih. Sekarang giliran saya yang kebingungan. Bagaimana kalau wanita yang hendak saya temui itu datang? Dimanakah ia akan duduk? Bagaimanakah ia akan mengenali saya?

Jam satu siang. Dia belum datang juga. Nenek itu sudah pergi sejak setengah jam yang lalu, meninggalkan bercak selingkar gelas kopi. Saya menatap ke luar jendela, berharap wanita segera datang. Tapi sia-sia.

Jam lima sore, cappucino yang ketiga yang sudah saya pesan. Tapi wanita itu tak kunjung datang juga. Saya resah. Menatap keluar sebentar-bentar. Langit masih cerah, walau dari kejauhan kelihatan awan kelabu berarakan solah ingin menyerbu kafe ini. Di manaka dia? Lupakah?

Jam enam sore, hujan memang akhirnya turun juga. Seorang ibu muda masuk dengan menggendong anaknya yang kira-kira berusia 5 tahun. Di kafe ini banyak orang yang berteduh sekalian minum kopi sambil menunggu hujan reda. Kafe pun jadi hibuk. Ibu muda itu tak menemukan kursi kosong selain kursi yang saya rencanakan untuk wanita yang ingin saya temui itu. Tapi saya tak mampu menolak dia untuk duduk di situ. Kasihan rasanya melihat dia kalang kabut sambil menggamit si bocah lima tahun yang gesitnyanya bukan main dan merengek kecapaian. Ibu itupun akhirnya duduk di kursi itu. Saya semakin gelisah. Bagaimana kalau wanita yang hendak saya temui itu datang pada saat Ibu ini masih di situ? Akankah dia dapat menemukanku nanti? Di mana ia akan duduk nanti? Di tengah-tengah gelisah itu, saya merasa ada yang membasahi celana saya.

Sial!! Ternyata si Lima Tahun itu menumpahkan kopi ibunya di atas meja dan langsung meluncur mengucur ke arah saya. Slompret, makiku dalam hati sambil tersenyum dan berkata "Ah, tidak apa-apa," kepada Ibu itu saat ia berkali-kali meminta maaf atas kenakalan anaknya.

Jam delapan malam, hujan sudah agak reda. Ibu dan si Lima Tahun itu pun sudah pergi memanggil taksi. Saya lihat ke luar jendela ke arah jalan yang hitam basah, sebasah celana hitam saya yang ketumpahan kopi tadi. Dalam hati saya bertanya-tanya, dimanakah wanita itu?

Mata saya agak berkunang-kunang, sepertinya saya sepertinya sudah mabuk kopi. Sebelas gelas telah tandas. Mabuk kopi itu mungkin kira-kira sama seperti mabuk alkohol. Saya mulai mereka-reka pertemuan yang kelak akan terjadi di sini (walau saya telah lumutan menunggu berjam-jam). Saya tersenyum sendirian. Saya juga makin gelisah. Sendirian.

Jam sepuluh malam. Jam sebelas malam. Pelayan wanita tadi mulai menghampiri saya.

"Maaf, Pak, kami sudah hampir tutup."

Saya lihat sekeliling kafe itu memang sudah sepi. Tinggal saya, dan beberapa pelayan yang sedang membersihkan lantai dan meja. Saya gelisah. wanita itu tak kunjung datang juga. Dan saya harus meninggalkan tempat ini dengan berat hati dan dengan celana basah bau kopi. Maka saya pun beranjak.

Dari luar kafe itu, di antara sisa hujan yang masih menggerimis, saya menengok sekilas ke balik jendela di mana saya duduk tadi. Ada siluet si pelayan yang bermata lembut dan baik hati itu sedang membersihkan meja saya. Di antara siluet itu, di kedua ujung meja itu, saya melihat ada saya dan wanita yang saya cintai sedang duduk menikmati kopi hangat dan tergelak-gelak karena pembicaraan yang menyenangkan.

Saya pun segera mempercepat langkah kaki.

/jatinangor, 29 Oktober 2004


2 Comments:

At 11:56 PM, Blogger mpokb said...

Sebelas cangkir...? Waduh, bisa ke toilet melulu tuh ;P
Cerpen ini membuat gw ngerasa bersalah karena bisa membacanya secara gratis (bo'ong ding, nggak ngrasa bersalah banget, hehehe). Apanya ya, Us? Yg jelas mata ini nggak mau brenti baca sebelum sampe di ujung tulisan, seakan dalam cerpen elo ada magnetnya.
You've got it made. Sip lah..

 
At 12:31 PM, Blogger Firdaus Siagian said...

Hehehe, sebelas cangkir kebanyakan ye, Mpok? :p

Aye kalo ngupi saat begadang dari jam 10 malem -jam 7 pagi bisa abis 6 sachet Kupi ABC Susu diseduh dalam mug. Ntuh kebanyakan kagak yeh? hehehe ..

Makanya aye ngira-ngira, seandainya aye yang duduk di situ dari jam 9 pagi ampe jam 10 malem, berapa gelas yang bakal aye abisin.

Jangan mrasa bersalah, Mpok, soalnye kalo aye naroh tulisan di blog aye yang bisa diakses ama sapapun secara gratis, ntuh artinye die bisa dibaca ama sapapun secara gratis juga dan boleh dikomentarin sesuka ati ...

Tengkyu buat pujiannye ye, Mpok =)

 

Post a Comment

<< Home