Friday, October 29, 2004

XENOCOHOLIC:Antara Bogor dan Avril Lavigne

Suatu hari seorang kawan dari Jakarta bilang, "Wah, ternyata perempuan Bandung itu cantik-cantik yah." Saya tersenyum sambil menimpali bahwa perempuan Bogor justru lebih cakep dan menarik dibanding dengan yang ada di Bandung. Dia juga lalu membanding-bandingkan betapa Bandung itu sangat ideal dibanding Jakarta.

Saya teringat suatu kali, beberapa tahun yang lalu, saya pernah menemani seorang kawan yang berasal dari Lampung ke Jakarta, dan dia berkata dengan wajah sumringah, "Bujug dah, cewek Jakarta cakep-cakep yah" sambil pangling melihat gedung-gedung tinggi dan mobil-mobil yang sliweran di Sudirman. "Seandainya Tanjungkarang kayak gini, asli, gue demen banget dah", tambahnya.

Xenocoholic. Saya pikir setiap orang mempunyai kecenderungan ini, yaitu kecenderungan untuk gandrung dengan sesuatu yang asing bagi dirinya. Kawan saya dari Jakarta demen cewek Bandung. Kawan saya yang dari Bandung terkagum-kagum dengan cewek Jakarta. Saya, orang Batak yang lahir dan besar di Jakarta dan kini luntang lantung di Bandung lebih menganggap perempuan Bogor lebih menarik. Orang Indonesia tergila-gila dengan budaya Amrik. Orang Amrik kesengsem dengan eksotisme Asia. Orang Asia memuji-muji Paris dan Eropa. Orang Eropa menganggap Australia lebih asyik seperti orang kota memandang desa. Orang Australia malah ngejar-ngejar budaya Sunda. Anton Chekov yang dokter itu demen ama sastra. Anak sastra ikutan politik. Politikus belajar ekonomi. Orang ekonomi malah belajar menggambar. Demikian seterusnya, dan seterusnya. Saya sengaja tidak pakai istilah xenomania, yang kalau dalam Kamus Bahasa Indonesia artinya lebih ekstrem lagi.

Xenocoholic bisa jadi disebabkan karena kita sudah merasa kenyang atau jenuh dengan apa yang kita punyai sehingga kita merambah sesuatu yang asing yang menggelitik rasa ingin tahu. Apa yang kita punyai kita anggap telah memenuhi apa yang kita inginkan sehingga kita menuju suatu tingkat pencapaian kebutuhan yang lain, seperti yang digambarkan Teori Kebutuhan-nya Abraham Maslow.

Atau bisa jadi justru kita merasa apa yang kita punyai tidak memenuhi apa yang kita inginkan, sehingga kita mengeksplorasi hal yang lain, seperti yang digambarkan si antropolog Claude Levi-Strauss dalam telaahnya tentang mengapa endogami atawa incest itu merupakan "dosa universal" sehingga timbullah larangan incest dalam banyak kebudayaan dan mendorong suatu anggota keluarga untuk menikahi anggota keluarga yang lain, bukan anggota keluarganya sendiri.

Saya pikir xenocoholic bukanlah sesuatu yang berbahaya. Karena setiap orang mengidapnya, maka itu adalah hal yang biasa, selama itu tidak bersifat patologis, destruktif atawa obsesif. Xenocoholic yang ekstrim akhirnya bisa jadi xenomania, lalu bisa berkembang jadi kecenderungan berepigon ria alias meniru-niru sehingga ia mengkonotasikan diri dengan hal yang asing itu, dan akhirnya kehilangan jatidirinya sendiri. Ini jamak terjadi ketika dunia saling mengkerutkan diri dalam nama globalisasi, dan orang-orang semacam tadilah yang kemudian disebut sebagai "yang tercecer dalam kampung global".

Balik lagi ke cerita tentang kawan saya yang dari Jakarta itu, yang xenocoholic dengan Bandung itu. Demi mendengar saya memuji cewek Bogor, dia lalu bertanya menggoda, "Eh Us, tapi kan si Avril Lavigne (penyanyi Kanada yang saya kagumi, red) itu bukan orang Bogor. Berarti dia kagak cakep dong?"

"Lah kata siapa?! Susah amat, suruh aja dia tinggal di Bogor, atau di rumahnya ditempeli plang 'BOGOR', kan dia jadi cewek Bogor, dan semakin cakep aja," kelit saya nggak mau kalah.

Saya punya xenocoholic, tapi tidak ingin dibutakan.


/jatinangor, 27 oktober 2004


2 Comments:

At 6:22 AM, Blogger mpokb said...

Eh, kampung gw disebut2 nih. Hidup asinan Bogor! (lho?)hehehe... ;P
Kayaknya jarang ada orang yg nggak kepingin mempelajari sesuatu yg baru bagi dirinya, dan gw rasa xenocoholic merupakan perluasan dari rasa keingintahuan ini (ini kok nggak ada di kamus Oxford atawa Encyclopedia Encarta, ya? jangan2 di negeri asal kamus dan ensiklopedia itu, xenocoholic atau xenomania dianggap bukan barang penting atau berbahaya, bahkan wajar...ah, curiga aja neh)
Kalo dilihat perkembangan sekarang ini, aura2nya sih ada pemusatan/kecenderungan trend (baca : gaya hidup) ke Amerika. Sesebel apa pun kita, pada kenyataannya hampir nggak ada hal yg nggak terpengaruh sama Amerika. Lalu, apa kita harus xenophobia pada AS? Padahal sesuatu yg berlebihan itu nggak bagus, kan, apakah itu xenomania maupun xenophobia? Jadi? Ya, seperlunya aja kali ye.... Jangan sampe kehilangan jati diri, tapi juga jangan menutup mata terhadap yg asing2 apalagi ketakutan nggak puguh, karena bagaimanapun kita hidup nggak sendirian, toh?

 
At 12:20 PM, Blogger Firdaus Siagian said...

Xenocoholic itu asli ciptaan aye, Mpok. Seenggak-enggaknya karna ampe sekarang aye juga emang belom pernah nemuin kata itu juga.

Waktu kepikiran istilah ini pertama kali, aye juga sempet buka-buka kamus, sapa tau ada istilah lain yg lebih pas. Waktu buka kamus Oxford ama kamus Inggris-Indonesia John M. Echols & Hassan Shadily, kata itu emang nggak ada. Tapi waktu buka Kamus Besar Bahasa Indonesia keluaran Balai Pustaka, di situ ada kata "Xenomania" yang artinya kecenderungan untuk menyukai sesuatu yang asing secara berlebihan. Makanya aye pake kata Xenocoholic, dengan pengertian mirip workaholic atawa alcoholic (alcoholic, Oxford = kecanduan akan alkohol dan sulit untuk melepaskannya).

Tapi emang kok Mpok, cewe Bogor ntuh emang manis-manis. Aye punya temen dari Bogor, dan die ntuh emang cakep bener. Dan aye juga .. ehem .. ehem .. pernah bokinan ama anak Cimanggis :"> (was Bogor, now Depok, tapi tetep ajah ada Bogor-Bogornya juga, hehehe ...)

 

Post a Comment

<< Home