Friday, February 28, 2003

[cerita pendek]

WANITA TERHORMAT KAMI
Cerpen Firdaus Siagian



PERLAHAN seorang wanita memasuki peron stasiun tua kami. Sesungguhnya stasiun ini hanyalah sebuah stasiun singgah saja bagi kereta diesel yang melintasi kota kami. Tak ada kereta jenis lain yang mampir di stasiun yang konon katanya dibangun sebelum bangsa kami merdeka. Bahkan kereta ekonomi yang butut sekali pun enggan untuk menghentikan gerbongnya di sini.

Kemudian wanita itu duduk dengan sahajanya di sebuah bangku peron. Perawakannya elok. Rambutnya agak ikal melebihi bahu sedikit. Usianya mungkin sekitar pertengahan duapuluhan tahun – hampir tigapuluh mungkin. Kulitnya yang putih terbungkus baju terusan yang berwarna putih pula berhiaskan corak bunga-bunga kecil berwarna kuning dan merah. Matanya bulat dan berbulu lentik. Bibirnya merah bergincu mengairahkan. Dadanya tidak terlalu besar dan juga tidak terlalu kecil – serasi dengan tubuhnya yang langsing. Tangannya saling melipat telapak di atas pangkuan. Di pergelangan tangan kanannya bertengger arloji dengan lingkaran rantai perak yang kecil.

Setiap orang yang menyambangi stasiun ini selalu mengira bahwa ia adalah seorang wanita terhormat. Sesungguhnya ia memang seorang wanita yang terhormat, dan dihormati. Setiap orang yang berpapasan dengan dia akan selalu memberikan senyum mereka padanya, terutama para pria, baik yang lajang, beristri, tua dan muda. Semua sama saja. wanita itu pun tak bosan membalas sernyum mereka dengan senyuman pula. Walau terkadang yang terkandung dalam senyuman para lelaki tersebut tak jarang adalah kecabulan. Tak mengapa. Wanita itu selalu membalas dengan senang hati. Tapi sungguh, ia bukan seorang perempuan murahan. Ia benar-benar memancarkan aura seorang wanita terhormat. Aura itulah yang muncul pada setiap senyuman yang ia lontarkan pada semua orang.

Tidak hanya para pria. Para perempuan pun selalu bersikap serupa terhadap wanita tersebut, dan selalu dibalas dengan senyuman pula yang tak kalah hormatnya. Paling-paling hanya wanita yang sedang berjalan dengan pasangan yang cemberut cemburu karena sang Arjuna seringkali memalingkan wajahnya demi menatap wanita itu dan berdecak kagum secara tak tersadar. Seolah mata mereka enggan untuk melepas dari bayang tubuh wanita tersebut. Kecemburuan itu pun tidaklah diperlihatkan di hadapan wanita itu. Setelah sang wanita berlalu, paling mereka hanya menjawil lengan lelakinya dan berjalan setengah memaksa pejantannya untuk segera meninggalkan tempat itu. Entah apakah mereka selalu bertengkar setelah meninggalkan stasiun atau sesampainya di rumah.

Wanita itu sungguh selalu seperti magnet bagi setiap orang di sekelilingnya.

*****

SETIAP hari wanita tersebut datang ke stasiun ini. Ia selalu membawa tas tangan kecil berwarna hitam. Kadang tas itu ditaruh di atas pangkuannya, kadang disematkan menjuntai di antara ketiak dan dadanya.

Terkadang aku suka membayangkan betapa bahagianya tas itu. Menjuntai di ketiak seorang wanita yang cantik sambil menghirup aroma wanginya memenuhi setiap rongga pada tubuh. Kadang tas itu didekap pada dada dipeluk oleh tangan yang berbulu halus, menikmati kenyal dada yang sempurna itu dan mendaratkan kulit menyentuh puting yang tak dapat terterka itu. Betapa harumnya dada itu pasti. Atau ketika mendarat di atas paha, tepat di atas sela-sela pucuknya. Ah, tak terbayangkan bau mistis yang tersamar merebak dari balik gaun menembus ruang-ruang lowong pada antara rajutan benang gaun.

Terkadang aku membayangkan akulah sang tas hitam itu. Dan aku menikmatinya…

*****

Setiap kali ia datang, ia selalu duduk di bangku peron yang ia duduki waktu pertama kali singgah di stasiun ini. Sembari duduk, kepalanya tak henti-henti menoleh ke kiri dan ke kanan seperti sedang mencari sesuatu. Ia selalu berjaga-jaga setiap kali ada kereta diesel yang datang. Namun seiring kereta itu pergi, wanita itu seolah menangguk kekecewaan dan kesedihan. Kemudian ada kereta diesel lain yang lewat, maka wajahnya akan cerah bersemburat harapan dan mengawasi kembali setiap mahluk yang turun. Seiring kereta itu pun pergi, ia kembali dalam kekecewaan dan kesedihan. Begitu terus yang ia lakukan.

Terkadang, sambil menunggu kereta lain yang akan singgah, ia membuka tas hitamnya dan memperhatikan sesuatu yang tersimpan di dalam. Setiap kali melongok ke dalam tas, senyum selalu menghiasi wajahnya. Kemudian ia bersiap-siap untuk mengawasi kereta yang akan masuk stasiun.

Aku yakin ia sedang menantikan seseorang.

*****

SETIAP pagi ia selalu datang ke stasiun ini. Datang, duduk, menunggu, dan kemudian meninggalkan stasiun pada saat matahari terbenam meninggalkan senja.

Tak ada seorang pun yang pernah tahu di mana rumah wanita tersebut. Tak pernah ada seorang pun yang pernah menanyakan hal itu kepadanya. Kami rasa tak sopan sepertinya jika menanyakan hal tersebut kepada seorang wanita terhormat seperti dia. Kami terlalu sungkan. Biarlah itu menjadi sesuatu yang tetap menjadi rahasianya dari kami. Asalkan jangan kecantikan dan kedatangannya pada stasiun kami ini yang dirahasiakan, kehadiran dan kecantikan yang telah menyemarakkan stasiun tua kami yang kusam ini dengan warna-warna indah. Itu saja sudah cukup membuat kami senang dan bahagia.

Hari demi hari, bulan demi bulan, tahun demi tahun, wanita tersebut senantiasa mendatangi stasiun ini dan selalu seperti mencari sesuatu di tengah hiruk pikuknya stasiun kami.

Aku yakin ia sedang menanti seseorang.

*****

HARI berganti bulan. Bulan berganti tahun. Tahun demi tahun ia selalu mendatangi stasiun kami. Bukan, bukan sekedar bertahun-tahun. Tapi sudah berpuluh tahun.

Ya, aku yakin kedatangannya ke stasiun ini sudah berjalan puluhan. Setidaknya menurut perhitunganku,sampai saat ini sudah sekitar tigapuluh lima tahun.

Walau usianya kian bertambah, kecantikan wanita tersebut tidak memudar. Keramahan tetap tak pernah lekang dari dirinya. Ia tetap tersenyum pada setiap orang yang dijumpainya. Tetap membalas salut dari semua orang dengan rasa hormat yang tidak berkurang, sekalipun datangnya dari orang-orang muda yang lebih pantas disebutnya cucu. Semuanya sama. Tak ada yang berubah seperti yang kulihat selama tigapuluh lima tahun ini. Yang berbeda paling hanyalah tidak adanya lagi wanita-wanita lain yang cemburu takut pejantannya lari meninggalkan mereka dan bercinta dengan wanita ini. Hanya itu. Selebihnya sama. Ia tetap selalu datang pada pagi hari, duduk, menunggu, menoleh ke kiri ke kanan, terkadang membuka tas, memperhatikan sesuatu yang ada di dalamnya, kemudian menolah-noleh lagi seolah ada sesuatu yang ditunggunya, dan pulang ketika hari hampir senja, datang lagi pada pagi berikutnya, dan begitu seterusnya. Selalu begitu. Benar-benar tak ada yang berubah.

*****

PAGI ini wanita tersebut datang kembali. Duduk pada bangku peron yang sama. Siang menjelang sore, ia tertidur terkulai sambil memangku tas hitam yang selama ini setia menemani. Tak ada seorang pun berani mengusiknya. Semua orang mahfum, mungkin ia kelelahan.

Hingga tiba senja menjelang, saatnya ia untuk pulang. Namun ia tidak juga terbangun. Sebegitu lelahnyakah dia sampai tak tersadar bahwa matahari telah meninggalkan buram pada senja?

Kuberanikan diriku mendekati wanita tersebut. Aku sapa dia. Tak ada jawaban. Tiga kali kusapa dia, tiga kali pula suaraku tak terbalas. Kupegang pergelangan tangannya. Dingin. Tak ada detak. Wanita terhormat itu telah mati di dalam penantiannya, entah apa yang selama ini dinantinya.

Namun aku yakin, ia sedang menanti seseorang.

*****

NAMANYA Rukiah. Itu yang kusimpulkan dari sebuah surat tulisan tangan seorang lelaki bernama Harun, ketika aku membuka tas hitam di pangkuannya.

Aku tak bermaksud kurang ajar. Awalnya aku hanya ingin mencari identitas diri wanita tersebut. Namun nihil. Hanya surat itu yang kutemukan, dan sebuah foto seorang lelaki berpakaian militer. Itu pasti Harun.

Dalam surat itu Harun berjanji untuk kembali ke kota ini setelah beberapa waktu bertugas di daerah lain yag sedang berkecamuk. Ia akan pulang dengan kereta dan meminta Rukiah, tunangannya menanti di stasiun. Dan Rukiah setia. Menanti hingga hari ini. Menunggu kedatangan sang kekasih yang tak pernah tiba.

*****

Kami menguburkan wanita terhormat itu – begitu aku lebih suka memanggilnya daripada nama aslinya – pada selahan tanah dekat peron tempat ia selama ini menunggu tunangannya.
Kami tak tahu bagaimana cara untuk mengabarkan kematian wanita terhormat ini pada keluarganya. Kami tak pernah mengetahui keluarganya selama ini. Yang kami tahu adalah bahwa kamilah keluarganya di sini. Ya, kami yang selama ini setia menyambangi stasiun tua ini. Dan kami kuburkan dia di rumah kami, tempat yang terhormat bagi wanita tersebut, setidaknya menurut kami.
Kami kuburkan dia selayaknya orang terhormat. Pada nisan, kami tuliskan: BERSEMAYAM DI SINI, WANITA TERHORMAT KAMI: RUKIAH. tanpa tanggal lahir. Bukan karena ingin mengingkari ketuaannya, tapi karena kami memang tidak tahu.

*****

Aku merindukan wanita terhormat itu. Wanita yang setia menjenguk kami di stasiun ini, walaupun hatinya tidak tertuju pada kami. Kehadirannya sudah cukup memuaskan kami.

Entah, apakah seseorang bernama Harun itu mengetahui kesetiaan kekasihnya. Entah apa yang terjadi dengan laki-laki itu selama ini. Apakah ia telah mengingkari janjinya untuk kembali, atau lupa, atau lari dengan wanita lain, atau mungkin mati dalam tugas. Entah. Yang pasti lelaki itu sungguh beruntung pernah memiliki seorang kekasih yang tak teringkari kesetiaannya.

Jatinangor, 18 Mei 2002

0 Comments:

Post a Comment

<< Home