Thursday, April 24, 2003

CINTA KERING


I.
Prelude

Adalah cinta yang membuat jantungku tetap berdegup. Adalah saat mengatakan "aku mencintaimu", aku merasa hidup.

Cinta memberi sepercik cahaya di tengah kekelaman, seperti aliran-aliran air hidup dari mata air yang tak pernah mengering. Memberi keteguhan dan ketenangan bagi jiwa yang gelisah. Memberi arti pada setiap langkah. Memberi keyakinan bahwa kita ada untuk tidak sia-sia.

Saat cinta lepas dari genggaman, apakah yang dapat dipegang? Bila sang cahaya telah pudar, apakah penerang hati? Keyakinan akan mati ranggas seperti daun-daun jati yang luruh, tertiup angin, melayang tak tuju arah, lalu jatuh, tersungkur mencium bumi. Kering, siap mati untuk terinjak, retak.

Detak jantung mulai terdengar sayup. Air hidup jadi air mata, bahkan tidak, sebab air telah mengering. Keringkihan jiwa yang memancar jauh ke tubuh, mengenyahkan harap untuk tetap berjalan, bahkan walau hanya untuk tetap berdiri.

Cinta telah mengilhami Khalil Gibran sehingga ia memujanya. Begitu pun Shakespeare, yang membela cinta walau itu harus mengorbankan nyawa. Cinta adalah bahasa universal, yang luput dikacaukan Tuhan saat Ia murka dan memukul Babel. Cinta adalah bahasa, Tuhan sendiri sadar, yang ilahi.



II.

Seorang lelaki muda, ringkih dan hilang jiwa, berjalan di tengah padang tandus. Burung-burung nazar terbang bergerumbul berkoak di atas kepala, menjadi bayangan mengalahkan terik matahari.

Lelaki itu tetap berjalan dalam arah yang hilang, entah tujuan. Bahkan kakipun telah mengeluh karena beban memandu tubuh.

Sang Lelaki merasa gelap walau matahari membakar garang. Ia merasa begitu beku walau terik di sekeliling telah mengubah air menjadi api.

Sementara itu, burung-burung nazar terbang bergerumbul berkoak di atas kepala, menjadi bayangan mengalahkan matahari, bernyanyi puji pada dewa atas makanan mereka hari ini, menaikkan doa syukur atas daging kering dan busuk yang siap di atas tanah--meja makan mereka.

Sang Lelaki terus berjalan walau tanpa arah. Mata memandang lurus-lurus ke depan mengharapkan cahaya itu terlihat lagi. Namun yang ada adalah kehampaan. Sang Lelaki merasa buta. Merasa tua. Merasa entah.

Sementara itu, burung-burung nazar terbang bergerumbul berkoak di atas tanah, menjadi bayangan mengalahkan matahari. Mereka bernyanyi gembira sambil mencari tempat untuk mengistirahatkan perut yang kenyang.


Jatinangor, 25 April 2003

0 Comments:

Post a Comment

<< Home