Friday, February 28, 2003

[cerita pendek]


PADA RUANG GELAP
Cerpen Firdaus Siagian



Dari sejak sore aku membaca hingga sekarang, ketika tiba saatnya matahari kembali ke peraduan di ujung barat sambil menyisakan semburat sinarnya yang malu-malu enggan meninggalkan bumi. Sore ini agak temaram. Rona pada mega berwarna jingga kemerah-merahan. Kata para tetua dulu, ketika aku masih seorang bocah, jika langit berwarna jingga seperti saat ini, itu berarti para bidadari sedang turun dari kahyangan ke bumi untuk mandi. Pada waktu itu aku sering berpikir mengapa para bidadari sampai turun ke bumi jika hanya untuk mandi. Apakah tak ada kamar mandi di kahyangan, setidaknya pemandian umum seperti MCK yang dibangun pemerintah tepat di depan rumah masa kecilku yang dulu. Apakah pemerintahku waktu itu lebih pintar dari para dewa yang ada di atas sana. Bukankah dewa-dewa itu justru lebih sakti dan lebih mumpuni dalam segala hal jika dibandingkan dengan manusia biasa. Jika memang demikian, berarti pemerintahku dahulu lebih supra di atas para dewa. Suatu pikiran konyol memang. Tapi hal demikian pasti akan mendapat apologi, jika memang para dewa itu benar-benar ada, karena aku masih seorang bocah waktu itu.

Aku pun sering tergelitik memikirkan para bidadari yang tidak setiap hari mandi itu, pun jika mandi hanya sekali dalam sehari. Aku berkesimpulan demikian karena rona jingga pada langit itu tidaklah datang setiap hari. Pun jika ada, itu hanya terjadi pada sore hari saja, tidak pada pagi dan pada siang hari. Aku berpikir, apakah tubuh mereka tidak bau. Aku saja merasa bau sekali jika tidak mandi satu kali dalam sehari (aku biasanya mandi dua kali sehari). Apakah mereka benar-benar cantik dan harum seperti yang sering diceritakan kepadaku bila mereka jarang mandi.

Aku terkekeh sendirian ketika teringat kembali betapa jahilnya aku dulu, ketika masih seorang bocah, berusaha membayangkan bagaimana sintalnya tubuh polos para bidadari yang telanjang itu ketika mandi dan bagaimana mereka membasuh tubuh dan organ-organ khas kewanitaan mereka.

Lupakan sejenak mengenai mitos bidadari itu. Seiring jingga pada langit itu memudar tergusur oleh kegelapan malam, aku begitu kesal pada perusahaan listrik, yang seharusnya memberikan terang pada suasana gelap seperti sekarang ini namun justru mengadakan pemadaman sepihak tanpa meminta persetujuan kami. Benar-benar tak tahu diuntung mereka itu! Betapa rajinnya mereka mengirimkan rekening tagihan tiap bulan yang terkadang angka-angkanya terlalu ajaib untuk dimengerti hingga membuat mata terbelalak dan jantung memompa darah memicu amarah – kadang aku bergurau dengan tetangga sebelahku yang sering mengeluh untuk mengambil segi positifnya: setidaknya kami yang sudah renta ini berolahraga melatih segala otot dan urat ketika marah, dan dengan demikian setidaknya kesehatan kami terjaga. Lelucon basi dan satir memang. Namun setianya rekening itu tak selalu diikuti setianya listrik yang mengalir ke dalam rumah kami. Apalagi akhir-akhir ini listrik di kompleks kami sering byar-pet. Benar-benar diamput!

Pukul setengah tujuh malam. Masih juga mati listrik. Lampu tak dapat dinyalakan. Untuk membunuh gelap, kunyalakan kompor gas untuk merajang air sambil menyalakan lilin pada sebuah candlestick yang masih panjang bersisa. Lalu aku kembali meneruskan membaca buku yang sempat tertunda. Tapi tak lama. Buku itu aku tutup kembali. Betapa sulitnya membaca tulisan-tulisan yang kecil pada buku dengan hanya diterangi oleh cahaya temaram sebatang lilin.

Untung air segera mendidih. Kekesalanku tertutup dengan kesibukan mematikan kompor dan menuangkan sebagian air dari panci panas itu ke dalam sebuah mug besar, lalu kutakar bubuk teh melati, sebubuk kopi tubruk dan sedikit gula sekedar pemanis dalam mug itu. Kuaduk dan kuracik teh panas kesukaanku.

Sambil menunggu tehku sedikit menghangat, aku terpesona menikmati setiap kepulan uap yang beraroma khas yang keluar dari mug membentuk awan-awan temporer pada ruang gelap yang dihiasi nyala lilin temaram. Benar-benar suatu kenikmatan tersendiri memandang munculnya awan yang cepat pudar yang kemudian cepat pula tergantikan dengan awan yang lain. Begitu seterusnya. Seperti siklus yang tak terhentikan. Benar-benar suatu penghiburan bagi diriku di tengah keterasingan dalam ruang gelap.

Sejenak kuamati nyala lilin yang berwarna jingga kemerah-merahan yang membentuk bayang-bayang mistis pada tembok-tembok pembatas. Aku terkekeh sendirian lagi. Aku teringat kembali cerita tentang bidadari turun mandi. Adakah mereka juga turun untuk mandi di ruangku saat ini. Jika mereka benar-benar datang, di bagian manakah pada ruang ini mereka berada. Aku kembali berusaha menggambarkan kesintalan sosok mereka dalam keadaan telanjang.

Aku benar-benar menikmati plot demi plot yang mengalir pada imajiku mengenai eksotisme nyala lilin, romantisnya citra-citra yang terbentuk oleh cahaya lilin pada dinding, sintalnya para bidadari, nikmatnya teh panasku. Sungguh, aku benar-benar menikmati mereka semua.

Tiba-tiba lampu menyala. Ternyata listrik telah mengalir kembali. Tetapi aku masih tetap kesal. Kini aku benar-benar kesal, namun dengan alasan yang tak sama dengan yang sebelumnya. Ia tidak ada pada saat aku inginkan, dan datang justru pada saat aku sedang tidak menginginkannnya. Sejenak aku beranjak menuju sakelar yang bertanggungjawab atas penerangan dalam ruang ini, lalu kumatikan lampu. Gelap. Ditengarai oleh nyala lilin. Menikmati kembali eksotisme yang sempat tertunda.

Jatinangor, 30 Mei 2002

0 Comments:

Post a Comment

<< Home