Wednesday, May 07, 2003

Cerita Hari Minggu
cerpen Saut Situmorang


Hari Minggu pagi. Tak ada mendung di langit, matahari bulat penuh
kemerah-merahan seperti telor matasapi tergantung di ranting pohon
jambu di depan rumah. Tiga ekor burung kutilang ribut di pucuk
ranting jambu yang tinggi, sementara di bawahnya di tanah ayam-ayam
kampung berebutan makan jagung. Terdengar suara anak menangis dari
dalam rumah.

"Pagi yang indah," kata Pak Pendeta sambil meminum kopi yang masih
mengepulkan asap di atas meja. Dia baru saja bangun. Cuci muka dulu,
lalu dia duduk menghadapai kopi panasnya. Sudah jadi kebiasaannya
begitu. Bangun pagi, cuci muka, lalu minum kopi. Tanpa baju, hanya
pakai sarung. Sudah jadi kebiasaan istrinya pula untuk bangun pagi,
cuci muka, masak air, dan membuat kopi untuk dia, suaminya. Tentu
saja dia pakai baju dan sarung.

"Pagi yang indah," kata Pak Pendeta sambil meminum kopi yang masih
mengepulkan asap di atas meja, di depannya. Suara tangisan anak tadi
masih terus terdengar. Berasal dari kamar mandi di belakang rumah.
Kadang-kadang terdengar juga suara perempuan, istri Pak Pendeta,
sedang membujuk-bujuk anak yang menangis itu. Pak Pendeta baru tiga
tahun kawin. Punya anak satu, laki-laki. Dan di rumah ini tidak ada
orang lain yang tinggal bersama mereka kecuali mereka bertiga saja.
Itulah sebabnya suara anak yang menangis di kamar mandi itu adalah
suara anaknya dan yang sedang membujuk-bujuk anaknya yang menangis di
kamar mandi itu adalah istrinya yang baru tiga tahun dikawininya.

"Pagi yang indah," kata Pak Pendeta sambil meletakkan gelas kopinya
yang sudah kosong ke meja di depannya. Meja itu terbuat dari kayu
jati dan diberi taplak Ulos Batak. Sekarang matahari sudah agak
tinggi dan anaknya sudah selesai mandi dan Pak Pendeta bangkit dan
pergi ke kamar mandi. Seekor lalat terbang mengitari permukaan gelas
kopi yang sudah kosong itu, hanya di dasarnya nampak sisa kopi, dan
terus terbang mengitarinya selama beberapa detik sebelum akhirnya
hinggap di tepi mulut gelas kopi yang sudah kosong di atas meja kayu
jati bertaplak Ulos Batak itu.

Di kamar istri Pak Pendeta sedang sibuk membantu anaknya berpakaian.
Mereka hendak ke gereja dan mereka masih punya banyak waktu untuk
berpakaian. Dia sendiri belum mandi, hanya cuci muka dulu lalu masak
air dan membuat kopi untuk suaminya, Pak Pendeta. Sudah jadi
kebiasaannya juga, dia baru mandi setelah anak laki-lakinya yang
menangis di kamar mandi tadi dan suaminya selesai mandi. Sekarang
dia, istri Pak Pendeta, sedang sibuk membantu anaknya berpakaian di
kamar anaknya itu.

Pak Pendeta sudah selesai mandi. Wajahnya berseri-seri, rambutnya
agak basah, dan dia cuma memakai sarung saja keluar dari kamar mandi.
Dia melihat pada gelas kopi kosong yang ada lalat merayapi dalamnya
untuk minum sisa kopi di dasar gelas di atas meja kayu jati bertaplak
Ulos Batak itu. Dia tersenyum. Pagi yang indah, gumamnya sambil masuk
ke kamarnya. Hari ini adalah hari pertamanya memberikan kotbah
setelah kepindahannya ke kota ini.

Giliran istrinya mandi sekarang. Anak laki-lakinya sudah selesai
berpakaian dan tidak menangis lagi. Dia duduk di ruang tamu menunggu
orangtuanya siap berangkat ke gereja.

Tak berapa lama kemudian mereka bertiga sudah berada dalam mobil. Pak
Pendeta mengenakan pakaian barunya yang tadi malam disetrika rapi
oleh istrinya. Sepatunya tersemir mengkilat. Rambutnya yang dipangkas
pendek tersisir rapi ke samping. Dia nampak gagah. Dia tersenyum.
Hari ini adalah hari pertamanya memberikan kotbah setelah
kepindahannya ke kota ini. Istrinya juga berpakaian rapi. Wajahnya
juga berseri-seri. Dia nampak jauh lebih muda dan sangat cantik. Anak
laki-laki mereka merasa bangga sekali melihat kedua orangtuanya itu.

Pak Pendeta merasa beruntung sekali karena gereja barunya tempat dia
sekarang bekerja menyediakan satu mobil untuk dipakainya. Mobil itu
tidak baru, tapi karena dirawat baik oleh pemakai sebelumnya, yaitu
pendeta lama yang digantikannya, jadi nampak seperti baru dibeli
saja. Memang mobil itu sebenarnya baru dibeli oleh gereja untuk
dipakai pendeta lama tadi. Jadi bisa dibilang mobil itu mobil baru
juga. Pak Pendeta merasa beruntung sekali karena gereja barunya
tempat dia sekarang bekerja menyediakan satu mobil untuk dipakainya
jadi dia tak perlu repot-repot lagi memikirkan untuk membeli
kendaraan untuk dipakainya sehari-hari. Tentu saja dia tahu menyetir
mobil. Ayahnya almarhum adalah bekas pendeta dan sama seperti dia
sekarang juga disediakan mobil untuk dipakai sehari-hari oleh gereja
tempatnya bekerja. Waktu itulah dia belajar nyetir dan setelah bisa
nyetir dia sering menyupiri ayahnya ke tempatnya kerja. Mengingat itu
semua Pak Pendeta tersenyum lebar dan menoleh pada anak laki-lakinya.

Karena hari ini hari Minggu jalanan nampak lengang. Tidak banyak
kendaraan lalu lalang seperti waktu hari-hari kerja. Kayaknya orang
merasa malas keluar rumah dan memilih nonton tv saja di rumah bersama
keluarga. Mungkin juga karena berpikir kalau keluar rumah pasti
keluar uang maka lebih baik menghabiskan liburan sehari di rumah
saja. Tapi sudah beberapa kali Pak Pendeta melihat anak-anak muda ke
gereja. Mereka berjalan di trotoar jalan dan nampak kitab suci Injil
serta buku nyanyian di tangan mereka. Kebanyakan mereka anak-anak
yang masih sangat muda usianya. Pak Pendeta gembira sekali melihat
ini semua. Mulutnya terus menerus menyunggingkan senyuman lebar.
Wajahnya berseri-seri. Tiba-tiba dibayangkannya bagaimana nanti
meriahnya sambutan orang di gereja terhadap dirinya, pendeta baru
mereka. Mereka akan dengan tekun mendengar kotbahnya. Dan setelah
selesai acara kebaktian mereka akan datang menyalaminya sambil
mengucapkan selamat datang. Mungkin juga bakal ada semacam acara
selamat datang yang khusus untuknya. Bukankah dia juga mendapatkan
hal yang sama waktu keberangkatannya dulu dari gerejanya yang lama?
Pagi yang indah, gumamnya dan tersenyum-senyum. Di jalan nampak anak-
anak berusia sangat muda berjalan ke gereja dan nampak kitab suci
Injil serta buku nyanyian di tangan mereka. Pak Pendeta jadi ingin
cepat-cepat sampai ke gereja barunya. Dia sudah tak sabar untuk
melihat domba-dombanya. Dia sudah tak sabar untuk memberi makan domba-
dombanya…

Waktu itulah kecelakaan itu terjadi. Tiba-tiba seorang pengendara
sepeda motor muncul dari belakang dan menyalipnya. Untunglah dia
seorang pengemudi yang berpengalaman. Walaupun kaget setengah mati
dia masih dapat menguasai dirinya dan berhasil merem mobilnya walau
tetap saja mereka terdorong cukup keras ke depan. Istrinya menjerit
dan nampak pucat. Untunglah saat itu tidak ada kendaraan lain di
belakang mereka. Sulit dibayangkan apa yang bakal terjadi kalau ada
satu atau tiga kendaraan lain membuntuti mereka waktu dia merem
mobilnya dengan tiba-tiba tadi. Tapi sebentar kemudian perhatiannya
sudah beralih ke arah muka. Rupanya sepeda motor tadi mengalami
kecelakaan. Satu mobil sedan tiba-tiba muncul di persimpangan jalan
dan meskipun mobil itu berjalan pelan kecelakaan tak terhindarkan
lagi. Si pengendara sepeda motor terlempar dari sepeda motornya dan
terbanting dengan keras ke aspal jalan dan sepeda motornya sendiri
terseret sampai ke pinggir jalan. Mobil sedan yang tiba-tiba muncul
di persimpangan jalan tadi melarikan diri dengan kecepatan tinggi. Di
depannya sekarang di jalan berserakan kaca bercampur darah dan si
pengendara sepeda motor tergeletak tak bergerak dan sepeda motornya
hancur dan berlepotan darah. Istri Pak Pendeta pucat wajahnya. Anak
laki-laki mereka diam tak berani bertanya apa-apa. Di tengah jalan
berserakan kaca bercampur darah dan di tengah-tengah genangan darah
si pengendara sepeda motor tergeletak tak bergerak.

Suara klakson mobil di belakangnya menyadarkan Pak Pendeta dan mobil
mereka mulai bergerak pelan-pelan ke muka.

Hari Minggu pagi. Tak ada mendung di langit dan matahari bulat penuh
kemerah-merahan seperti telor matasapi tergantung di atas jalan dan
di tengah jalan berserakan kaca bercampur darah dan di tengah-tengah
genangan darah si pengendara sepeda motor tergeletak tak bergerak. Di
trotoar jalan nampak anak-anak berusia sangat muda berjalan ke gereja
dan nampak kitab suci Injil serta buku nyanyian di tangan mereka.

Wellington 1993

disadur dari milis penyair

0 Comments:

Post a Comment

<< Home