Saturday, May 10, 2003

HARI YANG MELETIHKAN
Firdaus Siagian


Malam, aku merasa semakin letih saja. Tulang-tulangku serasa remuk, semakin membungkukkan tubuhku yang memang agak bungkuk ini. Dan kebungkukanku sekarang telah menjadi kebungkukan pangkat dua.

Kebungkukan pangkat dua, Malam. Kebungkukan pangkat dua, sama sialnya seperti tragik pangkat dua1) yang disebut Iwan Simatupang. Masihkah terngiang di telingamu kata-kata itu, kata-kata yang tujuh tahun lampau pernah kita serap bersama? Kata-kata yang membuat kita tertegun lalu menertawakan kesialan sebuah eksistensi di puncak tanjakan kampus paling timur di kota ini.

Tujuh tahun itu berlalu tanpa terasa. Melangkah bersama angin yang menghembuskan daun waktu menuju hampar keabadian yang entah. Apakah kita juga akan menuju keabadian, Malam? Apakah di sana juga akan ada perih dan letih yang sama seperti yang kita alami di tanah ini?

Bila memang, salahkah bila aku tak membenci keabadian?

Lagipula, sebenarnya, bersamamu aku telah merasakan apa itu arti keabadian. Hening, gelap, dan desir angin yang meruak sepi. Itulah keabadian yang kusuka, yang kutemukan dalam dirimu.

*****

Malam, aku merasa begitu letih, tulang-tulangku serasa remuk dan membuatku kian membungkuk.
Sempat terpikir olehku, bahwa nasibku dan kota ini sama sekali tidak berbeda, Malam. Begitu sama, dalam lain rupa. Kami sama-sama rapuh dalam kemudaan kami. Sama-sama merasa renta dalam masa sempurna kami.

Kami sama-sama mengalami pengasingan yang sama, didera oleh tangan-tangan asing yang merangsek menyetubuhi kami. Tidak hanya tubuh, tapi juga jiwa kami.

Saat kami melangkah, kami melangkah tanpa jiwa. Dalam tegap langkah kami menantang hari, apa yang ada dalam kami hanyalah kehampaan belaka.

Kami didorong untuk melakukan apa yang bukan kehendak kami, sesuatu yang kami tidak ketahui, sesuatu yang kami tidak pahami, sebagaimana boneka voodoo di tangan seorang dukun.

Kami ini seperti zombie, Malam. Tanpa jiwa. Walau berjalan tegap dengan langkah besar-besar, nyatanya kami adalah kekerdilan yang tak berani untuk bersikap tegak lurus dengan langit.2)

Hingga suatu hari, kami sepakat untuk membebaskan diri dari segala keterbelengguan ini. Kami menyadari bahwa takdir kami, eksistensi dan sejarah kami ditentukan oleh tangan kami sendiri, bukan oleh pihak-pihak di luar kami, bahkan Tuhan sekalipun. Dan siang tadi, aku maklumatkan keputusan kami di tengah keramaian kota.

Kau tahu apa yang selanjutnya terjadi? Mereka semua malah marah dan mengamuk.

"Atheis!"

"Penghujat!

"Kafir!"

"Subversif!"

Mereka tak mengerti. Mereka tak menangkap maksudku. Lalu kuperjelas kata-kataku sekali lagi pada mereka.

"Saudara-saudara, dengarlah! Aku pun tak berbeda dengan kalian. Aku percaya bahwa Tuhan itu ada, bahwa Ia adalah Maha Kuasa, Sang Pencipta dan Yang Berdaulat. Bahwa Ia berkuasa penuh untuk menentukan waktu lahir dan waktu mati seseorang tanpa dapat diganggu gugat oleh siapapun dan berhak penuh untuk merahasiakannya dari siapapun.

Namun aku tidak percaya bahwa Ia telah menggariskan seluruh kehidupan seseorang, bahwa si A akan menjadi orang kaya, si B akan menjadi si miskin abadi, C adalah penjahat, D pelacur, dan seterusnya, dan seterusnya.

Bagiku, ada secarik kertas dalam serentang jarak antara lahir dan mati seseorang yang dibebaskan-Nya untuk ditulisi oleh manusia itu sendiri dengan coretan macam apapun, entahkah itu dengan kebaikan atau kejahatan, entahkah itu suci atau profan. Bahkan untuk menjadi penghujat-Nya sekalipun, kita dibebaskan. Lagipula akan ada waktunya untuk menghakimi setiap mahluk mempertanggungjawabkan apa yang telah ditulisnya dalam bentang hidupnya itu.

Bila memang Tuhan telah menggariskan seluruh hidup kita, lalu buat apa Ia memberi kita otak? Bukankah itu berarti justru Ia sendiri yang mengingini kita untuk memutuskan nasib sendiri?"

Kerumunan itu semakin panas dengan gemuruh didihan amarah.

"Dasar, atheis taik!"

"Penghujat! Sesat!"

"Kafir lu!"

"Provokator! Bangsat!"

"Subversif! Komunis! Pe-ka-i!

"Tangkap!"

"Bunuh saja, cincang, berikan pada Sumanto!"

Suasana makin ricuh. Kerumunan itu semakin kacau.

Beberapa petugas yang bertugas untuk mengawasi dan mengamankan keadaan, sebagian berbaju cokelat tua dan sebagian lagi berseragam loreng, datang menghampiri aku. Salah seorang dari mereka memukul tengkukku dengan pentungan karet. Saat aku terhuyung, yang lain menendang perutku. Yang lain memukulku dengan popor senapan yang berkarat.

Dalam keadaan limbung dan nanar, aku dihentak paksa untuk berdiri, didorong berjalan melalui kerumunan yang kian ganas seperti kerasukan setan. Ada yang berteriak-teriak histeris, ada yang menggamparku dengan sendal jepit. Ada yang menghantam wajahku entah dengan benda apa, yang jelas aku merasakan ada sesuatu yang mengucur dari hidungku. Pandanganku menjadi kian redup dan perih.

Ketika aku berjalan di tengah-tengah mereka, aku merasa seperti Yesus yang membelah kerumunan orang Yahudi saat digiring oleh para tentara Roma menuju Bukit Golgota.

Tapi aku bukanlah Yesus, dan bukan siapapun. Aku tetaplah aku dengan segala yang ada dalam diriku, baik itu kelebihan maupun kekuranganku. Aku tetaplah aku yang tidak diciptakan serupa dengan siapapun, bahkan dalam hal seraut keriput di telapak kaki sekalipun. Aku tak hendak disamakan oleh siapapun atau berusaha menjadi epigon bagi siapapun.

Aku digiring ke kantor polisi dan diempaskan ke dalam sebuah sel, dilempar begitu saja seolah-olah mereka sedang membuang bangkai tikus yang menjijikan.

Di sel itulah aku memahami arti mempertahankan sebuah eksistensi sebagai manusia yang bebas menentukan hidupnya sendiri. Darah yang menetes dari pelipis, hidung dan mulutku, bengkak di sekujur tubuhku, serta koyak pada baju dan celanaku, menyadarkanku bahwa selalu ada harga yang harus dibayar dalam suatu perjuangan.

Walau sendirian dalam ruang pengap itu, aku tak merasa sendiri. Kudengar bisikan dinding yang memijat belakangku saat aku menyenderkan tubuh di atasnya, "Wahai, dengarlah, Jatinangor menangis."

Betapa ia tidak menangis? Lihatlah, tubuhnya semakin dijejali oleh tiang-tiang pancang. Semakin banyak manusia-manusia asing yang menggagahinya dengan langkah-langkah asing, sampah-sampah asing, gaya hidup asing dan nafsu-nafsu asing. Kota itu semakin diasingkan oleh tangan-tangan asing sehingga ia merasa terasing dari dirinya sendiri, tanpa selangkahpun ia dapat melawan untuk menentukan sejarahnya sendiri.

Kau dengarkah erangnya, Malam, saat pemondokan-pemondokan merebak seperti jamur ketika hujan, saat tawa muda yang renyah menggema, saat banyak hotel, toko dan gedung-gedung lainnya ditegakkan, kota kecil tersayang itu sedu sedan menangisi dirinya yang terus dipaksa untuk melacur?

*****

Saat gugur matahari tadi sore, sehelai daun kering jatuh di atas lukaku yang belum pulih benar. Entahkah ia datang sebagai suatu peneguhan atau justru sebagai penghinaan atas segala kejadian yang kualami hari ini, aku tak tahu. Dan aku tak ambil peduli.

Bagiku tak ada batas jelas antara peneguhan dan penghinaan. Garis yang memisahkannya begitu nisbi. Abstrak. Perbedaannya tergantung dari sudut mana aku melihatnya, dan untuk kepentingan mana aku hendak mengambilnya.

Bisa jadi daun itu datang dengan kedua maksud itu. Dan aku memilih untuk mencerap kedua-duanya.

Daun itu tampak seperti jiwa yang rapuh dalam keringnya keterasingan. Terlepas, melayang seturut kehendak angin yang membawanya, lalu jatuh tanpa dapat berkuasa menentukan titik jatuhnya sendiri. Pasrah.

Mungkin ia diluruhkan karena pemberontakan. Diasingkan agar tak mengusik kestabilan. Atau bisa jadi ia telah ditetak paksa dari cabangnya. Lalu ia mengering, itu sudah pasti, sebab tak ada sehelai daun pun yang dapat tetap hijau tanpa menyarangkan dirinya pada sebuah pohon, bukan? Atau memang telah hakikatnya daun itu jatuh karena tua, demi memberi ruang baru untuk generasi selanjutnya.

Banyak kemungkinan yang dapat dipikirkan, Malam. Tapi satu hal, daun itu telah menjadi Yang Terlupakan.

Ia rebah di lukaku. Mungkin ia merasa bahwa aku adalah teman sejiwa. Atau memang Tuhan telah mengirimnya kepadaku untuk menyampaikan suatu wahyu, melalui kering dan segala retak di tubuhnya.

*****

Malam, aku merasa begitu letih dan tulang-tulangku serasa semakin remuk. Rasa-rasanya aku kian menjadi bungkuk.

Ingin rasanya aku merebahkan kepala di rentang dadamu seperti seorang bayi dalam dekap ibu dan membiarkan kau menghangatkan tubuhku dalam pelukmu. Aku ingin mendengar kau menyanyikan nina-bobo bagiku, lalu lelap dan meletakkan letih barang sejenak.

Selepas isya, seorang dokter datang untuk memeriksaku. "Dokter jiwa," kata petugas jaga dengan senyum melecehkan.

Ternyata dokter itu datang tidak hanya sekedar untuk memeriksa jiwaku. Ia juga membersihkan lukaku, membalurnya dengan semacam serbuk putih yang membuat sendi-sendiku terasa perih, lalu menutupnya dengan perban.

Dokter itu sangat cantik, dan memiliki senyum yang ramah. Hanya saja binar matanya kosong hampa.

Apakah jiwanya juga demikian? Sebab aku seringkali mendengar ungkapan bahwa mata adalah pancaran jiwa. Benarkah demikian, Malam?

Dua jam setelah dokter itu pergi, aku dipanggil menghadap komandan polisi.

Ternyata tak ada satu pun hal istimewa yang terjadi yang dapat disepadankan dengan detak jantungku yang berdentam-dentam seperti dinding karang yang dipukul-pukul oleh ombak pasang. Sesuatu yang tidak begitu menggairahkan.

"Berdasarkan pemeriksaan dokter dan catatan-catatan mengenai dirimu yang kami dapatkan dari kampusmu, maka kau dibebaskan bersyarat dari segala tuduhan, Nak." Komandan itu berusaha untuk terlihat arif.

"Kalau boleh tahu, apa alasan pembebasan saya, Pak?"

"Pertama, berdasarkan catatan yang kami dapat dari kampus, kau adalah mahasiswa tingkat akhir sekali yang belum menyelesaikan kuliah. Bila kau ditahan, bisa dipastikan kau tidak akan pernah menjelma menjadi seorang sarjana."

Komandan itu mencoba untuk bersikap ramah. Tetapi di mataku, ia terlihat seperti biawak yang menyeringai.

"Yang kedua," terusnya, "menurut dokter tadi, kau agak sedikit mengalami gangguan psikis, mungkin disebabkan karena kau mengalami banyak tekanan berat, sehingga kau meracau tadi siang. Mungkin kau ketakutan karena hampir di-DO, ya?

Sialan. Apa urusannya sehingga ia berani mengungkit masalah pribadiku? Entah kali ini komandan itu berusaha untuk bersikap arif, ramah, sok perhatian, mengejek atau berusaha untuk membangkitkan amarahku, tapi aku sungguh-sungguh tak tertarik untuk menanggapinya. Bahkan aku terlalu mual untuk menatap wajahnya yang menyebalkan itu.

Aku tidak mengalami ekstase ketika mendengar kebebasanku atau terkesan dengan kemurahan hati dokter tadi, yang sepertinya bersimpati terhadap nasibku hari itu. Memang sudah seharusnya aku berterimakasih karena diagnosanya telah meluputkanku dari jerat pengekangan dan keterasingan yang baru. Tapi aku tak sempat untuk memikirkan perkara semacam itu. Apa yang ada di kepalaku hanyalah keinginan untuk segera keluar dari ruang yang memuakkan itu. Secepatnya.

Aku kembali ke sel untuk mempersiapkan kebebasanku. Sebenarnya tak ada satupun hal yang perlu dibenahi di sana, toh aku hanya beberapa jam saja mendekam di sel itu. Lagipula aku tak sempat membawa barang atau buntalan apapun saat aku ditangkap.

Aku memutuskan untuk kembali ke sel itu hanya sekedar ingin menghirup baunya sebagai kenang-kenangan, dan mengambil daun kering yang sempat kutinggalkan tergeletak begitu saja di lantai semen yang dingin saat aku menghadap komandan sialan tadi. Siapa tahu, daun itu ternyata memang benar-benar utusan Tuhan untukku, dan aku tak ingin menyia-nyiakannya.

*****

Malam, aku merasa letih sekali dan tulang-tulangku sepertinya kian remuk.
Aku senang dapat memandangmu dengan leluasa di hampar terbuka tanpa dibatasi oleh jendela dan jeruji. Aku begitu gembira saat merasai anginmu menyentuhku, membasuh penatku dengan seksama.

Hantarkanlah aku pulang hingga depan kamarku, Malam.

*****

Saat puncak malam, seorang lelaki muda berpakaian koyak-koyak dengan luka dan lebam disekujur tubuhnya berjingkat-jingkat menuju kamarnya di sebuah pemondokan yang tampak lengang.

Dibukanya pintu kamar pelan-pelan agar tak mengusik istirahat penghuni lain. Setelah berada di dalam kamar, ditutupnya kembali pintu itu dengan hati-hati, lalu menuju meja belajar, duduk, mengambil secarik kertas dan pensil.
Lelaki itu menulis sajak.

Dari kamar sebelah, terdengar lenguhan sepasang manusia muda, laki-laki dan perempuan, yang sedang menghitung peluh persenggamaan mereka.

Ah, sungguh, kota kecil ini semakin merasa letih dan bungkuk saja.


Keterangan
1) tragik pangkat dua, dikutip dari ucapan Tokoh Kita dalam novel Merahnya Merah karya Iwan Simatupang
2) tegak lurus dengan langit, salah satu ungkapan khas Iwan Simatupang


ps: cerpen ini pernah dilombakan dalam rangka ulang tahun tabloid dJatinangor, dan menjadi cerpen pilihan.

0 Comments:

Post a Comment

<< Home