Saturday, December 13, 2003

PM: 3. Busway, Three in One, dan Jakarta



Pemerintah propinsi DKI Jakarta akhirnya menetapkan bahwa busway akan mulai dioperasikan mulai pertengahan Januari 2004. Alasan resmi proyek ini adalah demi melancarkan lalu lintas Jakarta yang kian hari kian jenuh, tak ubahnya Kali Galur di daerah Kemayoran sana. Nah, dengan busway ini, diharapkan para manusia yang biasa berkantor menggunakan mobil-mobil pribadi akan beralih menggunakan transport busway ini. Sehingga mobil-mobil yang berkeliaran di jalan-jalan Jakarta akan berkurang jumlahnya

Demi melancarkan program ini, Pemerintah DKI mulai mengeluarkan suatu regulasi baru yaitu pemberlakuan kawasan three in one yang diperpanjang hingga pukul 20.00. Selain itu, Pemerintah DKI juga akan membatasi jumlah kendaraan yang berseliweran di Jakarta tiap harinya dengan melarang kendaraan dengan pelat nomor pelat tertentu beoperasi pada hari tertentu.

Sebagian kalangan menganggap proyek busway hanyalah proyek akal-akalan Pemerintah DKI untuk menangguk untung, alih-alih untuk menjawab kemacetan yang sudah seperti tumor di Jakarta.

Memang, dengan dioperasikannya bis, secara logika matematis, maka jumlah kendaraan pribadi yang kadang penumpangnya hanya satu-dua orang itu akan berkurang. Tapi Pemerintah lupa bahwa kebanyakan orang, terutama mereka yang the have, agak ngeri bila naik dengan kendaraan umum karena tingginya kriminalitas di sana. Bayangkan tukang ngamen yang kerap memaksa. Bayangkan tukang puisi yang apa entah isi puisinya karena dia bersyair seolah-olah sedang dirasuk alkohol. Sementara bagi mereka, kenyamanan dan keamanan merupakan faktor penting. Itulah mengapa memilih naik kendaraan pribadi.

Daripada mengoperasikan busway, yang kelahirannya mengundang cemooh karena menggunakan lajur kanan itu, mengapa pemerintah tidak merehabilitasi saja bis yang sudah ada? Tidakkah ini merupakan akal-akalan saja untuk menangguk untung yang lebih besar? Ingatlah tentang pengoperasian bis atau kereta listrik bantuan dari Jepang. Masyarakat agak ogah naik jenis transportasi ini bukan karena sudah terbiasa berhimpit-himpitan, tapi karena tarifnya dinilai terlamapu mahal bila dibandingkan dengan kendaraan sejenis sebelumnya. Dan pastinya, jika kita bandingkan tarif busway ini, pasti akan lebih mahal bila dibandingkan dengan naik kendaraan Patas sekalipun.

Pemberlakuan pelarangan kendaraan dengan pelat nomor tertentu untuk beroperasi pada hari tertentu juga sepertinya merupakan kebijakan absurd. Patut dipertanyakan, apakah peraturan ini berlaku juga bagi mobil para pejabat kita, mulai dari Mbak Mega, para menteri dan Sutiyoso serta aparat-aparatnya? Apakah ini juga berlaku bagi mobil pamong praja yang sering merazia pedagang kaki lima? Mungkin ini pertanyaan usil yang bodoh, tapi masih patut untuk dipikirkan bukan? Mungkin saja mereka-mereka yang disebutkan tak terlalu khawatir, toh mereka bisa jadi punya lebih dari satu kendaraan dan pelatnya tentu sangat bervariasi.

Rasa-rasanya pemerintah kita bisa jadi terlalu banyak pikiran dengan segala macam urusan politik atau mungkin bagaimana caranya untuk mencari sedikit celah menambah penghasilan "biar asap di dapur tetap bisa ngebul", sehingga mereka tak mampu lagi melihat permasalahan yang terjadi di masyarakat secara jelas dan menghasilkan peraturan yang benar-benar ampuh untuk mengatasi permasalahan tersebut.

Berbahagialah saya yang memang dari lahir nggak punya kendaraan sehingga saya akan terbiasa naik bus walau harus selalu berdebar-debar dan menyebar uang di segala saku supaya tetap punya uang kalau kecopetan, plus menyiapkan banyak recehan limaratusan biar mudah "bersedekah" bila ada pengamen atau penyair ngawur yang membutuhkan uluran tangan saya.

referensi: http://www.tempo.co.id/hg/jakarta/2003/12/09/brk,20031209-52,id.html

0 Comments:

Post a Comment

<< Home