dongeng yang tak selesai
Ketika malam itu aku menawarkan padamu bercerita tentang dongeng prajurit berkaki satu, kisah itu tak terselesaikan. Biarkan aku menceritakannya kepadamu kembali.
Di sebuah rumah, di sebuah kamar anak laki-laki si empunya rumah itu, terdapat banyak sekali mainan. Salah satunya adalah sebuah kotak mainan berisi 24 pasukan yang terbuat dari timah. Mereka tinggal berhimpit-himpitan di dalam kotak tersebut. Salah satu prajurit timah itu, si prajurit yang bungsu, berkaki satu. Sewaktu dibuat, ternyata sang pembuatnya kehabisan cairan timah. Itulah sebabnya prajurit itu berkaki satu.
Setiap kali kamar itu ditinggalkan oleh anak laki-laki itu, setiap mainan yang ada di kamar itu selalu berkeliaran dan saling bertandang. Terkecuali si prajurit kaki satu. Dan satu boneka penari yang terbuat dari kertas yang selalu berdiri di depan puri. Si prajurit senang sekali menatap puteri itu. Dia menyukai sang puteri, tapi tak memiliki keberanian yang lebih untuk menyatakan perasaannya. "Puteri itu pastilah seorang ningrat, itu sebabnya dia berdiri di depan puri itu. Sementara aku adalah seorang prajurit biasa," begitu gumam sang prajurit dalam hati.
Pada suatu hari yang berangin dan penuh salju, si prajurit sedang menatap putri itu dari pinggir jendela. Tiba-tiba angin meniupnya jatuh ke luar, dan menancap di antara tumpukkan salju. Si anak empunya rumah segera berusaha mencarinya keluar. Tetapi dia tak berhasil menemukannya, karena salju yang jatuh kian menutupi si prajurit itu.
"Hei, aku di sini!" teriak prajurit itu, namun si anak itu tak dapat mendengarnya. Desau angin dan salju menelan teriakan sang prajurit. Karena salju semakin lebat, si anak itu pun kembali masuk ke rumah.
Tak berapa lama kemudian, lewatlah serombongan anak lainnya. Salah satu dari rombongan itu melihat prajurit itu. "Hei, bagaimana kalau kita buatkan dia kapal-kapalan dan meluncurkannya di selokan?" usul anak itu. Yang lainnya setuju. Maka dibuatnyalah sebuah kapal-kapalan dari kertas, dan diletakkannya prajurit itu di bagian tengah kapal. Lalu mereka meluncurkan kapal-kapalan itu di sebuah selokan.
Ada rasa gentar dalam hati prajurit itu, tetapi dia berusaha menguatkan hatinya. "Aku adalah seorang prajurit, dan aku harus tegar menghadapi tantangan apapun," kata prajurit itu pada dirinya sendiri.
Air selokan pun membawanya berlayar hingga sampailah ia di dalam gorong-gorong. Di situ ia bertemu dengan tikus yang memandangnya curiga.
"Hei, kamu, pendatang gelap! Coba tunjukkan paspormu sebelum kau melanjutkan perjalanan," teriak tikus itu.
"Aduh, mati aku!" serunya dalam hati. Sang prajurit begitu kalut. Kakinya terasa gemetar. Tetapi dia memilih untuk bungkam dan tetap dalam posisi siaga. Ia memegang senjatanya erat-erat. Tapi untunglah, aliran air semakin cepat karena salju di luar mencair. Lalu air membawanya keluar dari gorong-gorong itu.
Namun arus air semakin cepat dan semakin cepat sehingga membuat perahu itu oleng. Hingga akhirnya perahu itu bertumburan dengan sebuah pusaran yang memutar-mutar kapal itu hingga kapal itu koyak karena basah. Sang prajurit pun tenggelam bersamaan dengan hancurnya kapal itu.
"Tamatlah riwayatku!" kata sang prajurit. Saat ia melayang-layang dalam air, pikirannya terbang ke rumah majikannya. Ia teringat kepada majikannya, kepada saudara-saudaranya, dan kepada putri yang berdiri di depan puri. Tiba-tiba ...
HAP! Seekor ikan mas menelan prajurit malang itu. Prajurit itu hanya merasakan gelap dan kegelapan semata yang ada.
Beberapa waktu berjalan, ia merasa melihat cahaya, dan ia mendengar suara yang ia kenal.
"Hei, bukankah ini adalah prajurit mainanmu yang hilang itu?" terdengar suara perempuan yang sangat akrab di telinganya.
"Benar," sekarang terdengar suara gembira seorang bocah laki-laki,"Akhirnya kutemukan juga boneka ini!"
Sang prajurit merasa senang sekali karena ternyata dia kembali ke rumah majikannya setelah berpetualang jauh sekali. Teman-temannya segera menghampiri dia dan hendak mendengar ceritanya mengenai dunia di luar sana. Para saudaranya mengaguminya dan menyebutnya sebagai pahlawan yang gagah, berani dan luar biasa karena dia telah pergi berkelana ke tempat yang jauh dan pulang dengan selamat. Hatinya begitu senang sekali.
Tetapi ada satu yang membuatnya gundah. Ternyata si puteri itu tetap bergeming di tempatnya. Dia tak menghampiri si prajurit yang telah kembali pulang. Dia tetap berdiri dengan posisi menari balet. Si prajurit menatap kagum putri itu. Ada rasa rindu yang buncah di dadanya.
Tapi tiba-tiba, sekali lagi angin berhembus masuk ke dalam kamar itu dan menghempaskan sang prajurit ke dalam tungku perapian. Prajurit itu mulai meleleh sedikit demi sedikit. Rasa panas menderanya. Kini riwayatnya benar-benar akan tamat. Sekali lagi ia menatap putri itu, sebab mungkin itu adalah saat terakhir dia akan melihat sang puteri. Tapi tiba-tiba, puteri kertas itu pin dihempas angin ke dalam perapian dan jatuh tepat di atas tubuh sang prajurit.
Prajurit itu segera memeluk erat sang puteri. "Akan kulindungi kau dari panas ini," kata si prajurit menenangkan hati sang puteri. Tapi api itu terlalu panas dan tetap saja membakar keduanya dengan ganas. Dari matasi prajurit, meleleh sebuah cairan. Maut menjemput sang prajurit dan sang puteri.
Keesokan paginya, saat sang pembantu rumah itu hendak membersihkan abu dari perapian, ia menemukan sebentuk kertas timah berbentuk hati yang terbakar dari dalam tungku.**
Demikianlah dongeng itu, sebuah dongeng yang begitu lekat di pikiranku, yang tak sempat kuceritakan secara penuh kepadamu waktu itu. Semoga kau bisa lelap dalam istirahatmu, dan badanmu disegarkan kembali.
Aku mencintaimu.
(teringat Minggu dini hari 4 Juli 2004, menjelang final Euro)
** dongeng "Kisah Prajurit Berkaki Satu" karya HC Andersen ini gue kutip sepengingatan gue.
0 Comments:
Post a Comment
<< Home