Thursday, May 22, 2003

TELAGA YANG TEDUH
cerpen Firdaus Siagian


Seorang anak kecil bermanja-manja di pangkuanku. Dilesakkannya kepalanya yang mungil di dadaku yang hanyalah sekedar rangka bertutup kulit semata. Rambutnya yang berwarna kemerahan dan berbau gasang matahari membangkitkan suatu perasaan tertentu dalam hatiku, entah apa itu, namun yang aku tahu bahwa perasaan itu bersaksi pada diriku sendiri bahwa aku memang mencintainya. Aku selalu merindukan untuk menghirup bau kepalanya setiap kali ia duduk di pangkuanku.

Sesekali dimainkan matanya yang bulat jernih menatap mataku di sela-sela lesakkan kepalanya. Menatapku sejenak, lalu tertawa gembira sambil memejamkan matanya, yang sungguh indah seperti mata seorang ksatria, dan memeletkan lidahnya. Aku bersumpah, bahwa suatu saat nanti ia akan tumbuh sebagai seorang lelaki sejati, dan bahagialah orang yang memilikinya.

Aku selalu tertegun melihat sinar matanya. Aku kagum. Kedewasaan ada di sana. Selalu. Di tengah-tengah telaga yang teduh yang menghampar tenang. Kepolosan, keceriaan, selalu memancar dari dasar matanya yang bening.

"Pak, apa miskin itu? Mengapa kita disebut miskin, Pak?" tanyanya tiba-tiba. Suatu pertanyaan yang pernah kuduga akan keluar dari mulut seorang bocah polos seperti dia pada usianya yang baru lima tahun. Pertanyaan itu menggema ke seluruh dinding bilik bambu rumah kami yang somplak, lalu menggaung ke gendang telingaku menendang-nendang tak keruan. Suaranya yang tanpa beban membuat telingaku seperti menggelegar, lalu turun ke dadaku dan menoreh perih di sana.

Tiba-tiba dadaku terasa sakit. Sangat nyeri, sebelum aku sempat menjawab pertanyaan itu dengan segunduk penjelasan yang belum sempat kubuat.

Sejurus kemudian aku batuk. Lendir hijau bercampur merah darah muncrat dari mulutku. Pandanganku pening.

Aku coba bertahan agar dapat kujawab sejenak pertanyaan bocah itu. Namun aku tak kuat menahan tubuhku untuk rubuh. Dan semuanya hitam.

Dalam gelap yang menyelimutiku, aku dapat melihat ada sebuah telaga tenang di hadapanku, memancarkan keheningan yang teduh. Sebuah telaga yang haus. Dan aku tak sempat menuntaskan dahaga yang diharapkannya dapat dipuaskan olehku. Aku telah terlanjur beku, aku tahu itu.

Maafkan aku, anakku.


Jatinangor, 22 Mei 2003


0 Comments:

Post a Comment

<< Home