Thursday, February 19, 2004

Pohon Kamboja

Demikianlah. Setiap menjelang sore, Perempuan itu selalu menatap pohon kamboja itu, lalu berjalan ke arahnya, dan lalu duduk di bawahnya. Menanti. Sambil menatap ke arah jalan kecil di depan rumah mereka yang lengang, bertanah dan berbatu-batu. Setiap senja, hingga turun gelap, Perempuan itu selalu duduk di situ menunggu kekasihnya pulang dari medang perang. Di benaknya sering terbayang, ia menyambut pulang sang kekasih hati yang menenteng senapan mesin dengan sehelai selendang kuning yang akan diselempangkannya di leher sang kekasihnya yang tegak seperti menara jaga itu. Demikianlah Perempuan itu selalu mengandai-andai.

Sebulan, dua bukan, tiga bulan, sang kekasih belum pulang juga. Dia khawatir. Dan jenuh. Dia takut sang kekasih lupa pulang, padahal sebelum keberangkatannya ke medan perang, Lelaki itu telah menanam seekor sperma di dalam rahimnya. Kini perut Perempuan itu agak sedikit buncit. Ia malu kalau penduduk desa itu tahu kalau dia hamil di luar nikah. Dia juga jenuh. Menanti, menanti dan menanti di bawah pohon kamboja yang tiap hari selalu saja menjatuhkan bunga-bunganya yang matang, layu atau mati. Demikianlah. Matanya pun selalu menatap jalanan yang lengang dan bertanah dan berbatu-batu. Sepi.

Pada bulan kelima, datang surat pertama berkop-surat kesatuan kekasihnya untuk si Perempuan itu. Ia gembira. "Kekasihku mengirim surat, seperti di cerita-cerita roman tentang cinta klasik," katanya dalam hati. Dibukanya perlahan-lahan, kemudian dibacanya perlahan-lahan, lalu jatuh air mata perlahan-lahan. Syrat itu bukan dari kekasihnya. Surat itu datang dari Sang Komandan kekasihnya yang hanya memberitahu bahwa Lelaki itu telah gugur saat bertugas. Airmatanya semakin jatuh tak lagi perlahan-lahan. "Kekasihku seorang pahlawan," gumam Perempuan itu dalam hati, sedih, miris, bercampur bangga.


**********


Di sebuah kamp di daerah yang terpencil di tengah hutan yang tak tertera di peta, sekelompok tentara sedang sibuk menggali tanah untuk mengubur salah seorang kawan mereka. Sang almarhum mati tercebur dalam belanga raksasa gara-gara ketiduran saat bertugas memasak makanan bagi seluruh kesatuan itu. Komandan menyuruh segera menguburkan mayat Lelaki itu biar tak jadi bangkai yang mengganggu. Lagipula ia enggan mengirim mayat anak buahnya itu kembali ke kampung halamannya hanya karena luka yang ada pada tubuh si Lelaki itu bukanlah luka tembak atau luka ledakan, cuma luka melepuh di sekujur tubuh.


/jatinangor, post-Valentine 2004

0 Comments:

Post a Comment

<< Home