Wednesday, November 19, 2003

Selamat September!



Ini akhir September.

Seorang lelaki menatap kalendernya yang diliput debu tebal. Dilihatnya tanggal demi tanggal yang tertera. Dia lihat tanggal-tanggal merah, dia lihat darah.

Duapuluh lima tahun yang lalu di bulan September, ia tahu, seorang bayi merah, semerah anak tikus, dilahirkan lewat prosesi penuh darah, perjuangan antara batas hidup dan mati. Seturut demi seturut, bayi yang tampak lugu tak mengenal dosa itu lambat laun mulai mengenal dosa dan memapah langkah-langkah kakinya sendiri. Suatu hari si anak tikus itu, yang kini lebih mirip babi karena saking hitamnya, pernah berkata kepada temannya, "Aku ingin menjadi seorang penulis yang bebas meliarkan pikiranku". Itu pula kata-kata yang pernah ia tuliskan di buku hariannya.

Tigabelas tahun sebelum kelahirannya, di penghujung bulan kesembilan itu, merahnya darah juga pernah menggenangi tanah kelahirannya, menggenang tak ubahnya seperti kubangan babi. Darah itu berasal dari ribuan, mungkin jutaan, manusia yang dibantai tanpa terlebih dahulu ditanyai apakah ia bersedia untuk menjadi tumbal.

Di usianya yang keduapuluh tiga, tikus yang kini lebih mirip babi kurus yang menyedihkan itu kembali melihat kubangan babi berwarna merah dari ribuan manusia yang tercipta dalam sekejap di televisi. Kubangan merah darah itu kemudian bercampur dengan tetesan hujan air mata lalu menggenang menjadi luapan merah marah seorang paman tua. Karena merahnya marah, mata paman tua itu pun menjadi merah seperti merah yang dibakar alkohol arak Bali, lalu mengutus para jongosnya dan para penjilat pantat untuk mendobrak pintu semua tetangga, bahkan hingga tetangga yang beda kelurahan dan gang, yang dicurigainya.

Di sebuah tanggal merah, si babi itu tertegun. Bulan ini mungkin memang ditakdirkan menjadi bulan yang merah: rembulan yang berdarah-darah, matahari yang berdarah-darah, langit yang berdarah-darah, tanah yang berdarah-darah dan otak yang berdarah-darah. Bukan tidak mungkin bila kiamat itu benar ada, maka ia akan terjadi pada bulan sembilan, begitu pikirnya.

Mata si babi masih menatap kalender yang menempel lusuh di dinding kamarnya yang kumuh. "Mengapa tak pula kujadikan hari ini sebagai hari merah, hari yang berdarah-darah?" gumamnya sambil tersenyum getir.

Kemudian babi itu mengambil silet berkarat yang tergeletak di atas lemari plastiknya, lalu beranjak keluar ruangan pengap itu menuju kamar mandi.


/jatinangor, 29 september 2003


Tuesday, November 18, 2003

Sajak Rindu
: yuanita milandini


kutitipkan syair rindu kepada angin agar dibawanya
kepadamu untuk ditancapkan di sekujur dadamu yang
ranum oleh karna cinta

agustus 5, 2003

kupukupu sesat


aku rindu kau memelukku kembali saat aku menangis bocah, saat gelisahku buncah, saat matahari seterang hitam, saat hati tak lagi dapat memindai.

aku rindu hilang dalam pelukmu hingga kutemukan kembali taman kecil teduh di tepi aliran sungai yang sempat hilang di mana aku adalah kupukupu sesat yang berbahagia di situ.

dibalik rengkuh tanganmu, biarkan aku terjembab di belah payudaramu. tertidur saat kau belai rambutku dan meniupkan napas surgamu.


jatinangor,4sept03

Monday, November 17, 2003

KelangkangMu adalah Sekebun Ganja yang Tersamar


Kau menyadari ketelanjanganMu
tersadar dari tidur panjangMu
sepelemparan pandangMu hanya batubatu padas, tanahtanah retas, titiktitik lengas, anjinganjing beringas yang gegas hilang arah tak tentu memenuhi sudutsudut mataMu
berbayangbayang, merontaronta, hilang, hibuk, remuk

dan Kau menari
dan Kau menyanyi
dan Kau berlari

dalam telanjangMu

dalam tangisMu

perih

dan kutemukan di situ
di tubuh telanjangMu

kelangkangMu adalah setaman surga yang menghampar
dan pusarMu adalah sekebun ganja yang tersamar


/jatinangor, 10november2003