Saturday, April 26, 2003

GAMANG


aku ada di tengah padang kegamangan. hinggap di atas keraguan antara tetap memegang teguh keyakinan atau melepasnya bebas, sebebas burung yang mengangkangi awan.

aku hilang pegangan, ya tuhanku. bimbang antara benar di hadapanmu yang awang atau memilih di hadapan manusiamanusia profan namun nyata.

aku bimbang. saat keyakinan tak seperti cahaya yang binar di ujung jalan. ketika cahaya memudar menghampa sepi.

aku hilang. dan terhilang.

dan jiwaku mulai beku seperti garamgaram di gommorah.


jatinangor, 26 april 2003

Thursday, April 24, 2003

CINTA KERING


I.
Prelude

Adalah cinta yang membuat jantungku tetap berdegup. Adalah saat mengatakan "aku mencintaimu", aku merasa hidup.

Cinta memberi sepercik cahaya di tengah kekelaman, seperti aliran-aliran air hidup dari mata air yang tak pernah mengering. Memberi keteguhan dan ketenangan bagi jiwa yang gelisah. Memberi arti pada setiap langkah. Memberi keyakinan bahwa kita ada untuk tidak sia-sia.

Saat cinta lepas dari genggaman, apakah yang dapat dipegang? Bila sang cahaya telah pudar, apakah penerang hati? Keyakinan akan mati ranggas seperti daun-daun jati yang luruh, tertiup angin, melayang tak tuju arah, lalu jatuh, tersungkur mencium bumi. Kering, siap mati untuk terinjak, retak.

Detak jantung mulai terdengar sayup. Air hidup jadi air mata, bahkan tidak, sebab air telah mengering. Keringkihan jiwa yang memancar jauh ke tubuh, mengenyahkan harap untuk tetap berjalan, bahkan walau hanya untuk tetap berdiri.

Cinta telah mengilhami Khalil Gibran sehingga ia memujanya. Begitu pun Shakespeare, yang membela cinta walau itu harus mengorbankan nyawa. Cinta adalah bahasa universal, yang luput dikacaukan Tuhan saat Ia murka dan memukul Babel. Cinta adalah bahasa, Tuhan sendiri sadar, yang ilahi.



II.

Seorang lelaki muda, ringkih dan hilang jiwa, berjalan di tengah padang tandus. Burung-burung nazar terbang bergerumbul berkoak di atas kepala, menjadi bayangan mengalahkan terik matahari.

Lelaki itu tetap berjalan dalam arah yang hilang, entah tujuan. Bahkan kakipun telah mengeluh karena beban memandu tubuh.

Sang Lelaki merasa gelap walau matahari membakar garang. Ia merasa begitu beku walau terik di sekeliling telah mengubah air menjadi api.

Sementara itu, burung-burung nazar terbang bergerumbul berkoak di atas kepala, menjadi bayangan mengalahkan matahari, bernyanyi puji pada dewa atas makanan mereka hari ini, menaikkan doa syukur atas daging kering dan busuk yang siap di atas tanah--meja makan mereka.

Sang Lelaki terus berjalan walau tanpa arah. Mata memandang lurus-lurus ke depan mengharapkan cahaya itu terlihat lagi. Namun yang ada adalah kehampaan. Sang Lelaki merasa buta. Merasa tua. Merasa entah.

Sementara itu, burung-burung nazar terbang bergerumbul berkoak di atas tanah, menjadi bayangan mengalahkan matahari. Mereka bernyanyi gembira sambil mencari tempat untuk mengistirahatkan perut yang kenyang.


Jatinangor, 25 April 2003

Monday, April 21, 2003

KEPERGIAN



I.

sudah semakin dekat waktu untuk aku beranjak. berat rasanya untuk meninggalkan segala hal yang pernah terjadi di belakang. tapi memang, ada satu yang tak dapat disangkal di dalam sebuah rupa yang bernama hidup: berjalan. maka, aku akan tetap langkahkan kaki, walau itu mungkin berarti harus meninggalkan para yang terkasih.

pergi dan meninggalkan.




II.

kepada para pencintaku, aku ingin menjadi sayap yang memeluk, menjadi hangat yang menyelimuti, dan sejuk yang menaungi, saat aku ada dekat. hingga kelak, saat pergi, aku akan terkenang dalam jiwamu, bukan pada udara yang sejenak ada lalu lenyap entah.

dan kepergianku tidak hampa. akan kubawa kalian dalam dada hingga abadi di sana. seabadi kepergian. seabadi perjalanan. seabadi aku.

ini saatnya aku persiapkan kakiku. aku akan menjejakkannya tegas-tegas pada tanah. aku akan menghunjam langit dengan batok kepalaku, sekalipun kilap gasang matahari akan membakarnya. biar.

perjalanan ini meletihkan. biar. aku akan terus berjalan. hingga kelak aku akan sampai di tanah lapang. akan kurebahkan diriku di sana. di rumahku yang nanti.

Saturday, April 19, 2003

paskah


Aku tergugah perasaan saat pagi ini aku, entah mengapa tiba-tiba, menyanyikan sebuah lagu yang syairnya begini (terjemahan bahasa Indonesia):

waktu kecil kita
merindukan natal
hadiah yang besar
...

karena kita
Dia menderita
karena kita
Dia disalibkan
agar dunia yang hilang
diselamatkan
dari hukuman kekal
...

Aku terenyuh oleh lagu itu. Itu lagu natal, memang. Tapi kata-katanya tidak "natal" sekali sebagaimana lagu-lagu natal yang indah, riang, bahagia dan kadang malah ngaco seperti lagu I Saw Mama Kissed The Santa, White Christmas (oleh Ebony, yang negro, lagu itu diubah judul dan beberapa liriknya yang berbau white menjadi black), atau lagu-lagu natal lain yang kelihatannya malah sangat memuji sosok Santa Clause, mitos yang menjadi nyata melebihi Yesus sendiri.

Lagu itu lagu natal, memang. Tapi kata-katanya menyentuh, tentang alasan kelahiran Yesus di bumi ini dan mengapa Ia mau lahir, lebih hina dari manusia biasa, dan mati, lebih hina juga dari manusia biasa.

Lagu itu sedih. Mungkin syairnya bisa "merusak" suasana Natal, sehingga jarang sekali kita dengar lagu itu diputar di mall-mall, atau di gereja, atau di rumah-rumah. Sialnya, di gereja malah lebih sering memutar lagu-lagu memuja Santa Clause dibanding lagu ini.

Lagu ini sedih, memang. Tapi ia berbicara mengenai kenyataan tentang kehadiran Sosok Agung bernama Yesus, Sang Anak Manusia yang juga adalah Anak Allah. Ia lebih berbicara kenyataan dibanding lagu-lagu Santa Clause.

Ah, apa yang hendak kutulis tentang lagu itu sehubungan dengan Paskah?

Aku terenyuh saat aku tiba-tiba menyanyikan lagu itu. Aku, jujur saja, menangis. Aku menyadari keprofananku. Pemberontakanku. Pengkhianatanku. Aku lihat diriku masih terus saja berlabur karnal.

Aku menangis. Bukan karena penyaliban Yesus. Justru aku akan berterima kasih karena itu. Haleluya, karena Kau mau disalib untuk kami. Aku menangisi diriku sendiri. Aku menangisi kekarnalanku.

Seperti anak yang tersesat, yang pulang kembali ke rumah bapanya, aku hendak kembali pulang pada Bapaku. Aku hendak menangis di bawah kaki-Mu, menerima pemulihan, dan menjadi aku..., aku yang baru.

Aku kembali, Ayah...

Wednesday, April 09, 2003

NYANYIAN DOA
: untuk willie dan emir yang berkirim doa


ah, sungguh
membaca kalian mengirim doa
di satu sisi membuatku gelisah
di sisi lain aku bangga karena pongah

kalian kirimkan doa
sementara aku asik berselancar
menikmati gadisgadis jepang
yang bugil telanjang
di kaca PC sewaan

kalian saling berkirim doa pada tuhan
sementara tuhanku mungkin sudah mati
kukubur bersama nietzsche
di tanah berteman belatung membentuk bangkai
(nietzsche berkata 'tuhan sudah mati', sedang ia pun juga mati, bah!!)

kalian merangsangku untuk kembali
memaku bayangan pada cermin
dan tahu apa yang kudapati?
: aku seorang pendosa!
aku profan!
aku tetap tak bertuhan!

bah!
apapula dosa bagi orang yang tak bertuhan?
apapula nyanyian doa
bagi orang yang tak kenal surga-neraka?
apapula tuhan bagi manusia
yang hidup dengan tangannya semata?

nyanyian doa kalian
membuka resahku kembali meluka
ingin aku kembali bertuhan
tapi aku lanjur telah bersumpah

mungkin bila saatnya tiba
aku akan kembali mengingatnya
dan semoga aku tak lupa
melantunkan kembali doadoa

jatinangor, 9 april 2003

catatan:
bila willie dan emir saling berkirim doa, di milis alumni SMA 68, gara-gara SARS, maka aku berkirim sajak, hehehe ...
(tapi sungguhkah aku ini tiada bertuhan?)




Thursday, April 03, 2003

Bosan

aku menghitung waktuku
yang terus bergugur luruh

kuhitung lesap napasku
seiring persenggamaan dengan waktu

siasia
aku pasti akan mati
entah esok, entah lusa, entah sekarang

dan waktu,
untuk apa aku harus menghitung lenguhnya?

jatinangor, 4 maret 2003