Friday, February 28, 2003

[cerita pendek]


PADA RUANG GELAP
Cerpen Firdaus Siagian



Dari sejak sore aku membaca hingga sekarang, ketika tiba saatnya matahari kembali ke peraduan di ujung barat sambil menyisakan semburat sinarnya yang malu-malu enggan meninggalkan bumi. Sore ini agak temaram. Rona pada mega berwarna jingga kemerah-merahan. Kata para tetua dulu, ketika aku masih seorang bocah, jika langit berwarna jingga seperti saat ini, itu berarti para bidadari sedang turun dari kahyangan ke bumi untuk mandi. Pada waktu itu aku sering berpikir mengapa para bidadari sampai turun ke bumi jika hanya untuk mandi. Apakah tak ada kamar mandi di kahyangan, setidaknya pemandian umum seperti MCK yang dibangun pemerintah tepat di depan rumah masa kecilku yang dulu. Apakah pemerintahku waktu itu lebih pintar dari para dewa yang ada di atas sana. Bukankah dewa-dewa itu justru lebih sakti dan lebih mumpuni dalam segala hal jika dibandingkan dengan manusia biasa. Jika memang demikian, berarti pemerintahku dahulu lebih supra di atas para dewa. Suatu pikiran konyol memang. Tapi hal demikian pasti akan mendapat apologi, jika memang para dewa itu benar-benar ada, karena aku masih seorang bocah waktu itu.

Aku pun sering tergelitik memikirkan para bidadari yang tidak setiap hari mandi itu, pun jika mandi hanya sekali dalam sehari. Aku berkesimpulan demikian karena rona jingga pada langit itu tidaklah datang setiap hari. Pun jika ada, itu hanya terjadi pada sore hari saja, tidak pada pagi dan pada siang hari. Aku berpikir, apakah tubuh mereka tidak bau. Aku saja merasa bau sekali jika tidak mandi satu kali dalam sehari (aku biasanya mandi dua kali sehari). Apakah mereka benar-benar cantik dan harum seperti yang sering diceritakan kepadaku bila mereka jarang mandi.

Aku terkekeh sendirian ketika teringat kembali betapa jahilnya aku dulu, ketika masih seorang bocah, berusaha membayangkan bagaimana sintalnya tubuh polos para bidadari yang telanjang itu ketika mandi dan bagaimana mereka membasuh tubuh dan organ-organ khas kewanitaan mereka.

Lupakan sejenak mengenai mitos bidadari itu. Seiring jingga pada langit itu memudar tergusur oleh kegelapan malam, aku begitu kesal pada perusahaan listrik, yang seharusnya memberikan terang pada suasana gelap seperti sekarang ini namun justru mengadakan pemadaman sepihak tanpa meminta persetujuan kami. Benar-benar tak tahu diuntung mereka itu! Betapa rajinnya mereka mengirimkan rekening tagihan tiap bulan yang terkadang angka-angkanya terlalu ajaib untuk dimengerti hingga membuat mata terbelalak dan jantung memompa darah memicu amarah – kadang aku bergurau dengan tetangga sebelahku yang sering mengeluh untuk mengambil segi positifnya: setidaknya kami yang sudah renta ini berolahraga melatih segala otot dan urat ketika marah, dan dengan demikian setidaknya kesehatan kami terjaga. Lelucon basi dan satir memang. Namun setianya rekening itu tak selalu diikuti setianya listrik yang mengalir ke dalam rumah kami. Apalagi akhir-akhir ini listrik di kompleks kami sering byar-pet. Benar-benar diamput!

Pukul setengah tujuh malam. Masih juga mati listrik. Lampu tak dapat dinyalakan. Untuk membunuh gelap, kunyalakan kompor gas untuk merajang air sambil menyalakan lilin pada sebuah candlestick yang masih panjang bersisa. Lalu aku kembali meneruskan membaca buku yang sempat tertunda. Tapi tak lama. Buku itu aku tutup kembali. Betapa sulitnya membaca tulisan-tulisan yang kecil pada buku dengan hanya diterangi oleh cahaya temaram sebatang lilin.

Untung air segera mendidih. Kekesalanku tertutup dengan kesibukan mematikan kompor dan menuangkan sebagian air dari panci panas itu ke dalam sebuah mug besar, lalu kutakar bubuk teh melati, sebubuk kopi tubruk dan sedikit gula sekedar pemanis dalam mug itu. Kuaduk dan kuracik teh panas kesukaanku.

Sambil menunggu tehku sedikit menghangat, aku terpesona menikmati setiap kepulan uap yang beraroma khas yang keluar dari mug membentuk awan-awan temporer pada ruang gelap yang dihiasi nyala lilin temaram. Benar-benar suatu kenikmatan tersendiri memandang munculnya awan yang cepat pudar yang kemudian cepat pula tergantikan dengan awan yang lain. Begitu seterusnya. Seperti siklus yang tak terhentikan. Benar-benar suatu penghiburan bagi diriku di tengah keterasingan dalam ruang gelap.

Sejenak kuamati nyala lilin yang berwarna jingga kemerah-merahan yang membentuk bayang-bayang mistis pada tembok-tembok pembatas. Aku terkekeh sendirian lagi. Aku teringat kembali cerita tentang bidadari turun mandi. Adakah mereka juga turun untuk mandi di ruangku saat ini. Jika mereka benar-benar datang, di bagian manakah pada ruang ini mereka berada. Aku kembali berusaha menggambarkan kesintalan sosok mereka dalam keadaan telanjang.

Aku benar-benar menikmati plot demi plot yang mengalir pada imajiku mengenai eksotisme nyala lilin, romantisnya citra-citra yang terbentuk oleh cahaya lilin pada dinding, sintalnya para bidadari, nikmatnya teh panasku. Sungguh, aku benar-benar menikmati mereka semua.

Tiba-tiba lampu menyala. Ternyata listrik telah mengalir kembali. Tetapi aku masih tetap kesal. Kini aku benar-benar kesal, namun dengan alasan yang tak sama dengan yang sebelumnya. Ia tidak ada pada saat aku inginkan, dan datang justru pada saat aku sedang tidak menginginkannnya. Sejenak aku beranjak menuju sakelar yang bertanggungjawab atas penerangan dalam ruang ini, lalu kumatikan lampu. Gelap. Ditengarai oleh nyala lilin. Menikmati kembali eksotisme yang sempat tertunda.

Jatinangor, 30 Mei 2002

[cerita pendek]

WANITA TERHORMAT KAMI
Cerpen Firdaus Siagian



PERLAHAN seorang wanita memasuki peron stasiun tua kami. Sesungguhnya stasiun ini hanyalah sebuah stasiun singgah saja bagi kereta diesel yang melintasi kota kami. Tak ada kereta jenis lain yang mampir di stasiun yang konon katanya dibangun sebelum bangsa kami merdeka. Bahkan kereta ekonomi yang butut sekali pun enggan untuk menghentikan gerbongnya di sini.

Kemudian wanita itu duduk dengan sahajanya di sebuah bangku peron. Perawakannya elok. Rambutnya agak ikal melebihi bahu sedikit. Usianya mungkin sekitar pertengahan duapuluhan tahun – hampir tigapuluh mungkin. Kulitnya yang putih terbungkus baju terusan yang berwarna putih pula berhiaskan corak bunga-bunga kecil berwarna kuning dan merah. Matanya bulat dan berbulu lentik. Bibirnya merah bergincu mengairahkan. Dadanya tidak terlalu besar dan juga tidak terlalu kecil – serasi dengan tubuhnya yang langsing. Tangannya saling melipat telapak di atas pangkuan. Di pergelangan tangan kanannya bertengger arloji dengan lingkaran rantai perak yang kecil.

Setiap orang yang menyambangi stasiun ini selalu mengira bahwa ia adalah seorang wanita terhormat. Sesungguhnya ia memang seorang wanita yang terhormat, dan dihormati. Setiap orang yang berpapasan dengan dia akan selalu memberikan senyum mereka padanya, terutama para pria, baik yang lajang, beristri, tua dan muda. Semua sama saja. wanita itu pun tak bosan membalas sernyum mereka dengan senyuman pula. Walau terkadang yang terkandung dalam senyuman para lelaki tersebut tak jarang adalah kecabulan. Tak mengapa. Wanita itu selalu membalas dengan senang hati. Tapi sungguh, ia bukan seorang perempuan murahan. Ia benar-benar memancarkan aura seorang wanita terhormat. Aura itulah yang muncul pada setiap senyuman yang ia lontarkan pada semua orang.

Tidak hanya para pria. Para perempuan pun selalu bersikap serupa terhadap wanita tersebut, dan selalu dibalas dengan senyuman pula yang tak kalah hormatnya. Paling-paling hanya wanita yang sedang berjalan dengan pasangan yang cemberut cemburu karena sang Arjuna seringkali memalingkan wajahnya demi menatap wanita itu dan berdecak kagum secara tak tersadar. Seolah mata mereka enggan untuk melepas dari bayang tubuh wanita tersebut. Kecemburuan itu pun tidaklah diperlihatkan di hadapan wanita itu. Setelah sang wanita berlalu, paling mereka hanya menjawil lengan lelakinya dan berjalan setengah memaksa pejantannya untuk segera meninggalkan tempat itu. Entah apakah mereka selalu bertengkar setelah meninggalkan stasiun atau sesampainya di rumah.

Wanita itu sungguh selalu seperti magnet bagi setiap orang di sekelilingnya.

*****

SETIAP hari wanita tersebut datang ke stasiun ini. Ia selalu membawa tas tangan kecil berwarna hitam. Kadang tas itu ditaruh di atas pangkuannya, kadang disematkan menjuntai di antara ketiak dan dadanya.

Terkadang aku suka membayangkan betapa bahagianya tas itu. Menjuntai di ketiak seorang wanita yang cantik sambil menghirup aroma wanginya memenuhi setiap rongga pada tubuh. Kadang tas itu didekap pada dada dipeluk oleh tangan yang berbulu halus, menikmati kenyal dada yang sempurna itu dan mendaratkan kulit menyentuh puting yang tak dapat terterka itu. Betapa harumnya dada itu pasti. Atau ketika mendarat di atas paha, tepat di atas sela-sela pucuknya. Ah, tak terbayangkan bau mistis yang tersamar merebak dari balik gaun menembus ruang-ruang lowong pada antara rajutan benang gaun.

Terkadang aku membayangkan akulah sang tas hitam itu. Dan aku menikmatinya…

*****

Setiap kali ia datang, ia selalu duduk di bangku peron yang ia duduki waktu pertama kali singgah di stasiun ini. Sembari duduk, kepalanya tak henti-henti menoleh ke kiri dan ke kanan seperti sedang mencari sesuatu. Ia selalu berjaga-jaga setiap kali ada kereta diesel yang datang. Namun seiring kereta itu pergi, wanita itu seolah menangguk kekecewaan dan kesedihan. Kemudian ada kereta diesel lain yang lewat, maka wajahnya akan cerah bersemburat harapan dan mengawasi kembali setiap mahluk yang turun. Seiring kereta itu pun pergi, ia kembali dalam kekecewaan dan kesedihan. Begitu terus yang ia lakukan.

Terkadang, sambil menunggu kereta lain yang akan singgah, ia membuka tas hitamnya dan memperhatikan sesuatu yang tersimpan di dalam. Setiap kali melongok ke dalam tas, senyum selalu menghiasi wajahnya. Kemudian ia bersiap-siap untuk mengawasi kereta yang akan masuk stasiun.

Aku yakin ia sedang menantikan seseorang.

*****

SETIAP pagi ia selalu datang ke stasiun ini. Datang, duduk, menunggu, dan kemudian meninggalkan stasiun pada saat matahari terbenam meninggalkan senja.

Tak ada seorang pun yang pernah tahu di mana rumah wanita tersebut. Tak pernah ada seorang pun yang pernah menanyakan hal itu kepadanya. Kami rasa tak sopan sepertinya jika menanyakan hal tersebut kepada seorang wanita terhormat seperti dia. Kami terlalu sungkan. Biarlah itu menjadi sesuatu yang tetap menjadi rahasianya dari kami. Asalkan jangan kecantikan dan kedatangannya pada stasiun kami ini yang dirahasiakan, kehadiran dan kecantikan yang telah menyemarakkan stasiun tua kami yang kusam ini dengan warna-warna indah. Itu saja sudah cukup membuat kami senang dan bahagia.

Hari demi hari, bulan demi bulan, tahun demi tahun, wanita tersebut senantiasa mendatangi stasiun ini dan selalu seperti mencari sesuatu di tengah hiruk pikuknya stasiun kami.

Aku yakin ia sedang menanti seseorang.

*****

HARI berganti bulan. Bulan berganti tahun. Tahun demi tahun ia selalu mendatangi stasiun kami. Bukan, bukan sekedar bertahun-tahun. Tapi sudah berpuluh tahun.

Ya, aku yakin kedatangannya ke stasiun ini sudah berjalan puluhan. Setidaknya menurut perhitunganku,sampai saat ini sudah sekitar tigapuluh lima tahun.

Walau usianya kian bertambah, kecantikan wanita tersebut tidak memudar. Keramahan tetap tak pernah lekang dari dirinya. Ia tetap tersenyum pada setiap orang yang dijumpainya. Tetap membalas salut dari semua orang dengan rasa hormat yang tidak berkurang, sekalipun datangnya dari orang-orang muda yang lebih pantas disebutnya cucu. Semuanya sama. Tak ada yang berubah seperti yang kulihat selama tigapuluh lima tahun ini. Yang berbeda paling hanyalah tidak adanya lagi wanita-wanita lain yang cemburu takut pejantannya lari meninggalkan mereka dan bercinta dengan wanita ini. Hanya itu. Selebihnya sama. Ia tetap selalu datang pada pagi hari, duduk, menunggu, menoleh ke kiri ke kanan, terkadang membuka tas, memperhatikan sesuatu yang ada di dalamnya, kemudian menolah-noleh lagi seolah ada sesuatu yang ditunggunya, dan pulang ketika hari hampir senja, datang lagi pada pagi berikutnya, dan begitu seterusnya. Selalu begitu. Benar-benar tak ada yang berubah.

*****

PAGI ini wanita tersebut datang kembali. Duduk pada bangku peron yang sama. Siang menjelang sore, ia tertidur terkulai sambil memangku tas hitam yang selama ini setia menemani. Tak ada seorang pun berani mengusiknya. Semua orang mahfum, mungkin ia kelelahan.

Hingga tiba senja menjelang, saatnya ia untuk pulang. Namun ia tidak juga terbangun. Sebegitu lelahnyakah dia sampai tak tersadar bahwa matahari telah meninggalkan buram pada senja?

Kuberanikan diriku mendekati wanita tersebut. Aku sapa dia. Tak ada jawaban. Tiga kali kusapa dia, tiga kali pula suaraku tak terbalas. Kupegang pergelangan tangannya. Dingin. Tak ada detak. Wanita terhormat itu telah mati di dalam penantiannya, entah apa yang selama ini dinantinya.

Namun aku yakin, ia sedang menanti seseorang.

*****

NAMANYA Rukiah. Itu yang kusimpulkan dari sebuah surat tulisan tangan seorang lelaki bernama Harun, ketika aku membuka tas hitam di pangkuannya.

Aku tak bermaksud kurang ajar. Awalnya aku hanya ingin mencari identitas diri wanita tersebut. Namun nihil. Hanya surat itu yang kutemukan, dan sebuah foto seorang lelaki berpakaian militer. Itu pasti Harun.

Dalam surat itu Harun berjanji untuk kembali ke kota ini setelah beberapa waktu bertugas di daerah lain yag sedang berkecamuk. Ia akan pulang dengan kereta dan meminta Rukiah, tunangannya menanti di stasiun. Dan Rukiah setia. Menanti hingga hari ini. Menunggu kedatangan sang kekasih yang tak pernah tiba.

*****

Kami menguburkan wanita terhormat itu – begitu aku lebih suka memanggilnya daripada nama aslinya – pada selahan tanah dekat peron tempat ia selama ini menunggu tunangannya.
Kami tak tahu bagaimana cara untuk mengabarkan kematian wanita terhormat ini pada keluarganya. Kami tak pernah mengetahui keluarganya selama ini. Yang kami tahu adalah bahwa kamilah keluarganya di sini. Ya, kami yang selama ini setia menyambangi stasiun tua ini. Dan kami kuburkan dia di rumah kami, tempat yang terhormat bagi wanita tersebut, setidaknya menurut kami.
Kami kuburkan dia selayaknya orang terhormat. Pada nisan, kami tuliskan: BERSEMAYAM DI SINI, WANITA TERHORMAT KAMI: RUKIAH. tanpa tanggal lahir. Bukan karena ingin mengingkari ketuaannya, tapi karena kami memang tidak tahu.

*****

Aku merindukan wanita terhormat itu. Wanita yang setia menjenguk kami di stasiun ini, walaupun hatinya tidak tertuju pada kami. Kehadirannya sudah cukup memuaskan kami.

Entah, apakah seseorang bernama Harun itu mengetahui kesetiaan kekasihnya. Entah apa yang terjadi dengan laki-laki itu selama ini. Apakah ia telah mengingkari janjinya untuk kembali, atau lupa, atau lari dengan wanita lain, atau mungkin mati dalam tugas. Entah. Yang pasti lelaki itu sungguh beruntung pernah memiliki seorang kekasih yang tak teringkari kesetiaannya.

Jatinangor, 18 Mei 2002

[cerita pendek]

KISAH SI LEMBU TAK BEROTAK
Cerpen Firdaus Siagian


Pelacur itu terus menari dihadapanku. Meliuk-liuk bagai asap rokok tertiup semilir angin malam itu. Gerakannya merangsang birahiku. Bedebah! Aku tak dapat menghapuskan sosok dirinya dan mereka dari ingatanku. Bahkan aku tak dapat berpikir lagi bagai si lembu tak berotak yang dicocok hidungnya. Dungu!

* * * * *

Aku sudah tidak tahu lagi bagaimana aku dapat terikat dengan para perumpuan itu, terutama Nanik, dan kehidupan yang aku jalani sekarang. Bukan, bukannya aku tidak tahu, tetapi aku lupa awal mula aku bertekuk lutut dihadapan semuanya itu.

Beberapa bulan yang lampau, entah kapan itu karena aku pun sudah lupa, aku datang ke kota besar ini untuk mengadu nasib peruntunganku. Aku terbuai dengan cerita-cerita orang-orang kampungku yang telah lebih dahulu merantau ke sini. Aku terbuai dengan mimpi-mimpi menjadi kaya, punya rumah mewah, mobil bagus dan pekerjaan yang selalu menuntutku berdasi dan berjas seperti mimpi-mimpi yang ditawarkan sinetron di televisi hitam putih milik Pak Somad, tetanggaku. Aku iri dengan mereka yang jika pulang kampung pada hari raya selalu memakai pakaian yang mewah-mewah dan selalu menghamburkan uang dari kocek mereka seakan-akan kocek mereka adalah telaga yang selalu membual dan tak pernah kering.

Sungguh aku terpesona ketika melihat Nining teman SD-ku dahulu ketika pulang kampung memakai rentetan gelang emas, cincin emas di setiap jarinya dan kalung emas dengan bandul yang sangat mencolok mata. Mentereng sekali dia! Padahal dulu dia bukanlah siapa-siapa, bahkan makan sehari sekali pun keluarganya sangat bersyukur. Atau Rohman, temanku yang sering berenang bersama di kali, setiap pulang dia selalu membawa berkantong-kantong oleh-oleh buat sanak keluarganya di sini. Belum lagi celana jeans-nya yang mengkilap dan kemeja yang masih bau pabrik. Jujur, aku iri dengan mereka. Itulah yang semakin membulatkan tekadku untuk mengadu nasib di kota. Kalau aku kaya dan punya banyak uang seperti mereka, selain kehidupanku berubah, tentulah Emak yang sudah renta dan ringkih tidak usah lagi bekerja keras membanting tulang sekedar untuk hidup hari ini.
Tapi Emak selalu tidak pernah setuju dengan keinginanku pergi ke kota.

“Lebih baik engkau bantu Emak mengurusi sawah Bapakmu”, katanya suatu kali ketika aku minta ijin untuk merantau. Emak memang tidak pernah setuju. Emak tidak pernah mengerti bahwa kepergianku itu sebenarnya juga untuk kebaikannya. Emak selalu mengikatku dengan sawah secuil peninggalan Bapak. Kadang aku kesal juga, mengapa Bapak hanya mewariskan tanah itu pada kami ketika ia meninggal. Bahkan untuk hidup pun takkan mampu tanah itu membiayai kami.

“Tapi Mak, kalau saya berhasil di kota, Emak juga ‘kan yang senang,” aku berusaha membujuk meyakinkan Emak.

“Sudahlah, ngapain juga kamu di sana? Kita tak punya sanak di sana, Burhan. Lebih baik kamu di sini. Masih banyak yang dapat kamu kerjakan di kampung di sini”, jawab Emak acuh tak acuh. Dingin.

“Apa Emak tak bosan hidup begini terus? Miskin terus? Mak, sawah itu takkan pernah dapat menghidupi kita. Malah kita yang diperbudaknya! Malah kita yang justru disuruh menghidupinya!”

“Tutup mulutmu! Andai Bapakmu masih hidup dan mendengar perkataanmu tadi, habis kau dirajamnya!” Emak terlalu mencintai sawah itu seperti ia mencintai Bapak. Sepertinya ia tak dapat lepas dari sawah itu. Mungkin kehangatannya seperti kehangatan Bapak.

Dan esok subuhnya aku meninggalkan Emak diam-diam pergi menuju kota.

*****

Kalau kupikir-pikir, kadang masalah ingin cepat kaya bukanlah salah satu alasan aku ngotot pergi ke kota. Ada satu daya tarik yang aku tak pernah tahu tentang kota itu. Dan sekarang aku telah menjejakkan kakiku di kota impianku. Begitu asing. Setelah capek berkeliling aku mampir ke sebuah kedai minuman. Disitulah aku bertemu Nanik.

“Halo Tampan, baru pertama kali ke sini, ya? Mukamu lugu. Baru dari kampung ya?” cerocosnya.

“Hmm,” jawabku dingin. Sekenanya.

“Aku Nanik. Rumahku di gang sebelah sana. Kalau kau tak punya tempat berteduh, mampirlah ke rumahku dan menginaplah disana. Tidurlah di tempatku.”

Tawarannya tanpa tedeng aling-aling. Awalnya aku tidak mempedulikannya. Tawarannya bagiku seperti sebuah basa-basi orang kota. Setelah itu, ia terus berceloteh tentang banyak hal. Tentang kota yang keras, tentang pemerintah yang tak becus, tentang lingkungannya yang kumuh, tentang dirinya yang pelacur, tentang banyak hal yang tidak sempat mencantol di kepalaku. Selama aku taruh pantat penatku di bangku kedai itu, ia terus berceloteh. Tak pernah berhenti, walaupun aku biarkan, tak peduli. Entah bagaimana sampai aku akhirnya tersihir olehnya. Dan malam itupun aku bermalam di rumahnya.

Malam kian merangsek kian larut, namun kami tak dapat tertidur. Entah dia yang menikmati aku atau aku pun menikmati dia, malam itu kami bergelut badan. Aroma wangi seronok dari tubuhnya mencocok hidungku bagaikan aku ini adalah lembu tak berotak. Aku biarkan dia bergerak di atas tubuhku. Menari. Menggelinjang. Setelah itu letih. Kosong. Aku tak dapat berpikir.

Semenjak saat itu aku tak pernah dapat lepas dari pelacur itu. Kini dia menjadi dewi pelindungku sekaligus penolongku. Dialah yang memberi aku makan, memberi tempat tinggal dan memberi aku pekerjaan. Dari Naniklah aku mengenal Tante Nora, Bu Tyas, Mbak Wati, Zus Maritje, para wanita yang haus akan belaian cinta dan nafsu. Entahkah aku yang diperbudak mereka ataukah aku juga turut menikmatinya, aku tak pernah tahu dan tak ingin tahu. Aku tak dapat berpikir.

Dan semuanya seperti siklus. Setiap akhir hari, setelah aku bergelut badan dengan para wanita kesepian itu, giliran Nanik dan aku. Selalu setiap hari. Seperti suatu siklus kehidupan yang tak pernah berhenti. Entah aku yang selama ini diperbudaknya atau aku yang juga turut menikmati siklus ini, aku tak pernah tahu, sebab aku selalu tak pernah dapat berpikir. Aku sudah seperti lembu tua yang tak berotak yang tak dapat berpikir, bahkan untuk hal yang sepele sekalipun.

Memang terkadang aku teringat akan Emak di kampung. Terbayang tubuh rapuhnya bergelut dengan lumpur bermandikan keringat akibat matahari. Dua tangan keriput yang mengayun pacul. Di pikiran Emak pastilah tentang panenan yang akan dijual kepada tengkulak di desa kami. Sedangkan aku di sini… Aku pun bergelut, namun bukan dengan lumpur. Aku pun bermandikan keringat, namun bukan karena matahari. Tanganku pun terayun, namun tak ada pacul di tanganku. Dan di pikiranku… ah tak ada yang dapat kupikirkan. Kepalaku benar-benar kosong tak berotak.

Semakin lama aku di kota ini, semakin sulit aku melepaskan diri dari cengkeramannya. Semakin sulit aku bebas dari Nanik, si pelacur dewi penolongku. Semakin sulit aku lepas dari pelukan para wanita yang haus nafsu itu. Semakin terlupakan pula mimpi membawa uang banyak ke kampung untuk membahagiakan Emak dan menunjukkan kepadanya bahwa aku mampu mewujudkan impianku semasa di desa.

*****

Bulan demi bulan, semakin aku seperti lembu tak berotak. Terutama di hadapan Nanik. Hari-hariku habis di ranjang. Terkadang terlintas di pikiranku, terlalu naif kalau aku bilang bahwa semua yang kulakukan hanyalah demi uang semata, walaupun sebenarnya aku pun tak dapat berpikir bila aku ditanya apakah aku menikmati setiap permainan ini. Semuanya benar-benar kosong.
Hingga suatu saat aku merasa tubuhku panas meradang. Demam yang tak kunjung berhenti menyinggahiku. Tulang-tulangku serasa menggelontor lepas dari persendian. Dokter yang aku datangi diam-diam tanpa sepengetahuan Nanik, aku takut dia tahu bahwa aku sedang sakit, memvonis bahwa aku mengidap penyakit tak tersembuhkan. Penyakit yang disebabkan virus busuk akibat pekerjaanku selama ini.

Pekerjaan? Benarkah itu adalah pekerjaan? Bukankah aku pun turut menikmatinya juga? Bukankah aku pun turut bernafsu di dalamnya? Bukankah aku pun turut terpuaskan dalam permainan itu? Pekerjaan? Benarkah itu merupakan pekerjaan bagiku?
Aaah, tolong jangan sekarang cecar aku dengan semua itu … Aku sungguh-sungguh tak dapat berpikir. Aku benar-benar seperti lembu tak berotak di hadapan para wanita itu. Bukankah itu adalah suatu pembelaan diri? Ah, jangan tanyai aku lagi dengan hal-hal itu. Aku sungguh-sungguh tak dapat berpikir.

*****

Malam ini, pelacur Nanik itu kembali menari di hadapanku. Aku selalu tahu kesudahan dari ritual ini. Ya, ritual, karena itulah yang kami lakukan saban malam. Menari, mendekatiku, mendaki, menjilat, menggelinjang, mendesah, meregang, semua… semua terjadwal dalam pikiranku.

Teringat perkataan dokter siang tadi. Entahlah dari siapa aku mendapat penyakit terkutuk ini. Entahkah dari Nanik, pelacur penolongku, ataukah dari para perempuan brengsek pengejar kehangatan itu. Brengsek? Brengsek, kau bilang? Bukankah engkau yang brengsek itu? Aah, jangan kejar aku lagi dengan pertanyaan-pertanyaan itu. Aku sungguh-sungguh tak dapat berpikir.
Malam ini, ketika aku bergelut badan dengan Nanik, terbersit pikiran dalam benakku, apakah aku sedang mengembalikan virus itu kepadanya ataukah aku berikan cuma-cuma kepadanya? Besok pun hal yang sama akan aku perbuat dengan para perempuan pengejar nafsu itu.


Dipikiranku saat ini pun terlintas Emak, perempuan renta yang gigih bergelut dengan sawahnya. Terkadang terlintas dipikiranku Emak bergelut di sawah seperti sedang bergelut dengan Bapak. Bergelut untuk mengatasi hidup dengan perjuangan keras. Mungkin takkan pernah aku lihat lagi Emak kesayanganku itu, atau sawah kesayangannya, atau kampung tempat kenangan masa kecilku tersimpan.
Dan kini, di hadapanku, Nanik mulai merangseki tubuhku, mendaki, menjilat, mendesah, menggelinjang… kemudian semuanya kosong. Benar-benar kosong. Si lembu tak berotak ini tak dapat berpikir lagi. Untuk selamanya. Tiba-tiba semuanya kosong. Benar-benar kosong … .




Jatinangor, 20 Januari 2002, 23.14

[cerita pendek]


ENGKAU HANYA PADA MASA LALUKU
Firdaus Siagian


SUATU hari ketika aku sedang menikmati makan malam di kedai langgananku, seorang sahabat mengenalkanku pada seorang kawan wanitanya. Namanya, …, ah, aku lupa. Kau tahu, saat itu aku seakan mengalami de javu. Aku teringat akan engkau. Aku merasa berkenalan dengan engkau kembali. Tidak terasa memang, sudah lima tahun aku tak pernah menghubungimu. Aku merindukanmu.

*****

AKU masih ingat tujuh tahun yang lalu ketika aku pertama kali berjumpa denganmu. Sungguh pertemuan yang tak pernah dapat kulupakan. Saat-saat selanjutnya adalah saat-saat kita saling berbagi tentang diri kita masing-masing. Engkau tahu bahwa aku mencintaimu saat itu. Aku pun tahu bahwa engkau juga mencintaiku, walau itu tak pernah terucap dari bibir ranummu. Aku tahu karena aku dapat membaca perlakuanmu terhadapku. Dan setidaknya aku mengetahui itu dari Dwi, sahabatmu. Itu sudah cukup menjadi alasan buat aku untuk bermegah atas dirimu, bukan?

Aku pun tak pernah membicarakan perasaanku padamu. Aku terlalu takut. Aku terlalu malu. Aku tahu siapa diriku, dan itulah mengapa aku sadar untuk tidak mengatakan perasaanku padamu. Lagipula, pandanganku tentang hidup berbeda dengan pandanganmu. Walaupun sebenarnya kita dapat menyingkirkan semua perbedaan yang tidak zakelijk itu, tapi aku terlalu takut untuk menghadapi pertentangan yang akan kita hadapi ditengah perjalanan kisah kita nanti. Aku terlalu takut untuk menentang orang-orang yang aku hormati. Orang-orang yang aku segani. Orang-orang yang telah berusaha menjadikan aku seorang manusia.

“Adalah lebih baik jika sepasang kekasih tak pernah bersatu jika suatu saat mereka harus terpaksa berpisah dan dipaksa untuk saling membenci satu sama lain,” kataku suatu saat ketika kita sedang iseng membicarakan cinta.

“Mengapa demikian?” engkau heran.

“Kautahu sulitnya untuk meninggalkan orang yang kita kasihi. Seperti mati rasanya. Daripada merasakan itu, lebih baik menyimpan cinta dalam hati.”

“Jika menyimpan cinta seperti itu, maka kita seperti menyimpan lilin yang sedang menyala di bawah tempurung. Engkau akan mati seperti nyala cinta yang mati karena dinginnya hati. Hampa tak ada udara”.

“Kau salah dalam mengambil perumpamaan. Sesuatu yang tersimpan dalam hati takkan pernah mati! Justru ia akan awet karena tersimpan seperti dalam kulkas,” aku bersikeras.

“Mengapa tak rela mati demi cinta? Seperti Romeo dan Juliet. Cinta mereka abadi.”

“Aku tak pernah mempercayai khayalan Shakespeare yang satire itu dapat terjadi dalam kehidupan nyata. Yakinkah engkau bahwa mereka akan bertemu di surga cinta? Setiap orang yang mati bunuh diri itu masuk neraka!” kataku, “Bagiku adalah suatu kebodohan untuk bunuh diri demi yang namanya cinta. Suatu pengorbanan yang sia-sia!”

Aku tak mau mati untuk sesuatu yang bernama keabadian cinta yang tak tentu jelasnya di alam sana. Entah menurut pendapatmu. Sebab engkau langsung terdiam mendengar jawabku.

*****

Bukannya aku menyalahkan, tapi karena keadaan yang berbeda di antara kitalah yang membuatku aku tak dapat mencintaimu terang-terangan. Aku hanya dapat mencintaimu hanya dalam batinku saja. Aku hanya dapat memujamu sebagai dewi dalam goresan tulisan pada buku harianku. Aku hanya bisa membayangkan bermesraan denganmu hanya dalam bayang-bayang imajinasi yang kubiarkan liar menari. Tapi, sumpah, aku tak pernah membayangkan hal tak senonoh atas dirimu! Aku tak dapat bermasturbasi dengan membayangkan kemolekan tubuhmu yang telanjang. Bahkan aku tak dapat membayangkanmu telanjang! Engkau terlalu sakral jika hanya untuk kelucahanku. Terkadang aku bahkan berani untuk berpikir bahwa engkau seperti Tuhan, bahkan lebih dari sekedar Tuhan bagiku. Aku pikir seorang Romeo atau Rama pun tak dapat menandingi kesucian cintaku padanya.

*****
AKU terkenang pada saat aku harus meninggalkanmu merantau demi cita-cita yang telah kugantungkan pada untaian bintang-bintang mimpi selama ini. Bahkan hangatnya genggamanmu pada tanganku masih berasa sampai kini.

“Jangan lupakan aku,” terngiang ucapanmu disambangi oleh senyuman manis.

Ah, senyuman manis itu pun takkan pernah dapat terlupakan. Senyum manismu yang sebenarnya getir. Jangan membodohiku, aku tahu kau menangis saat itu. Tapi kau tahan airmatamu agar tak jatuh. Aku tahu engkau malu jika aku memergokimu menangis, sebab aku akan menggodamu jahil. Tapi waktu itu jika engkau menangispun, aku takkan menjahilimu. Mungkin aku juga akan turut menangis.

“Aku takkan melupakanmu. Aku berjanji akan menghubungimu sesering mungkin.”

Aku pun pergi. Bahkan hingga kepergianku, aku masih tetap tak tega untuk mengatakan cintaku. Aku takut membuatmu menunggu dalam ketololan. Aku takut perjalanan kita nanti sia-sia. Jadilah engkau hanya sebatas dewi dalam catatan harianku saja.

*****

HAH! Betapa gombalnya aku berjanji untuk menghubungimu setiap saat. Kenyataannya hanya selama setahun kurang aku menghubungimu. Di perantauan ini pun pernah hatiku terpikat pada kupu-kupu yang lain. Entah semacam pelarian. Entah karena memanfaatkan kesempatan. Aku juga berusaha mengepakkan sayapku untuk menjelajahi dunia baruku. Aku pernah seorang optimis, pernah pula seorang apatis. Aku pernah seorang bohemian, pernah pula seorang satire. Aku pernah seorang aulia, pernah pula seorang sarkas. Begitu terlenanya aku terbang, hingga aku melupakanmu. Sungguh, engkau telah terlupakan. Aku telah menarik ludah yang pernah kujatuhkan waktu itu.

*****

9 MEI. Perkenalanku dengan Muti – ah, akhirnya teringat juga nama gadis itu – inkarnasimu di perantauanku, membuat aku kembali membuka catatan lamaku tentang dirimu. Catatan-catatan di mana dirimu pernah tertanam.

Membuka kembali hari-hari aku begitu memujamu, hari-hari penting yang pernah kita rayakan bersama. Sebentar, hari-hari penting? Bukankah sekarang adalah hari ulang tahunmu? Salah satu hari penting yang pernah kita rayakan bersama?
Aku bergegas meneleponmu. Tak ada yang mengangkat. Berkali-kali selama dua hari berturut-turut aku menghubungimu. Tetap tak ada yang mengangkat. Entahkah engkau sedang pergi. Entah engkau telah pindah. Atau entah engkau kini telah menikah. Atau jangan-jangan malah engkau sudah …? Ah, tidak mungkin! Engkau terlalu muda untuk mati. Lebih baik memikirkan engkau telah menikah daripada engkau telah mati.

*****

Kau tahu mengapa aku ingin menghubungimu? Selain mengucapkan selamat atas ulang tahunmu, aku juga ingin mengatakan bahwa aku pernah melupakanmu. Dan aku ingin engkau pun untuk melupakan aku. Aku tak sesetia seperti yang pernah aku janjikan. Terlalu lama aku melupakanmu sehingga tak ada lagi keinginan yang seperti aku miliki dulu akan dirimu. Aku ingin memiliki dewi yang lebih nyata dibandingkan eksistensimu selama ini. Engkau sekarang tak lebih dari hanya segores coretan yang pernah ada pada sepanjang rajutan hidupku. Engkau bukan lagi kerinduan terpendamku.

Nyala cintaku terhadapmu telah padam seperti nyala lilin dalam tempurung, tepat seperti apa yang telah kauucapkan padaku dahulu. Hanya itulah perkataanmu yang benar. Sungguh, kini aku tak menginginkanmu.

*****

Jatinangor, 10 Mei 2002

[cerita pendek]

KEHENINGAN MALA
Firdaus Siagian



GELAP mulai merambahi bumi, Mala. Ia telah membungkus kita dalam selubung hitam sementara kita di sini hanya dipenuhi oleh nafsu-nafsu diam. Bukankah ini saat yang tepat untuk kita mulai merangsak?

Sudahlah! Hentikan dulu diammu itu! Apa yang sedang kau terawangi dengan memekuri bulan yang tak kunjung memamerkan sosoknya itu? Apa yang membuatmu menunggu, Mala?

Jawablah aku, Mala! Aku bosan berbicara sendiri sedari tadi. Cukuplah kau mematung!

Hei, apakah kau tuli? Keparat! Mengapa kau masih diam tak bergeming?

Angin terus melantunkan desah-desahnya yang senyap. Datang dari arah yang tak terduga, melintas, menari sebentar, lalu masuk ke tengah jumputan belukar menghilang entah kemana. Tujuan yang tak berdestinasi.

Akankah kita di sini terus, Mala? Atau seperti angin keparat yang tak kepalang tanggung dinginnya ini?

Mala, ingatkah kau mengapa kita di sini? Revolusi, Mala. Revolusi! Ha-ha-ha, sebentar lagi kita yang akan memimpin semesta ini.

Mala? Mala? Keparat kau! Mengapa kau terus mengacuhkan aku? Sudah mampuskah jiwamu?

Zikhar tak tahan lagi. Diterjangnya Mala, dicekik, digoncang, ditampar, berharap betina itu membalasnya sehingga ia tahu bahwa betina itu masih hidup dan ia tidak sendiri.

Betina. Begitulah Zikhar menyebut jenis kelamin Mala. Ia merasa tak pantas Mala disebut wanita, sebab tidak ada kelemahlembutan dan kepasrahan sebagaimana yang dimiliki seorang wanita dalam sosok Mala. Disebut perempuan juga tak pantas. Mala tak pernah menggugat mengapa ia dilahirkan dengan dada yang lebih menonjol dibanding lawan jenisnya atau mengapa kelaminnya memanjang ke dalam bukan ke luar seperti punya Zikhar. Ia tak pernah mendebat golongan seperti Zikhar sebagai musuh sebagaimana para mahluk perempuan itu selalu menyebut lelaki sebagai penindas, pemerkosa, lucah dan sebagainya. Ia tidak pernah dipusingkan dengan serapah-serapah semacam itu. Tidak juga dengan kelemahlembutan yang hipokrit.

Zikhar menyerah. Berkali-kali diguncangnya Mala, ditampar, tetap saja ia itu diam. Semakin kuat ia mencekik, semakin diam betina itu. Bahkan sampai ia menonjok dan meremas dadanya, Mala masih tetap mematung. Matanya terhunus pada langit yang kosong. Tak berkedip secercah pun. Benar-benar kosong seperti langit yang ia tatap. Bangsat! Apa yang sedang merasukimu, Mala? Zikhar semakin geram.

Kerasukan? Geram Zikhar berganti ketakutan. Kecut. Benarkah betina itu kerasukan? Setankah yang merasukinya? Atau hanya angin malam yang liar yang kadang suka menyusup pori-pori? Baru kali ini Zikhar benar-benar ketakutan. Bulu kuduknya meremang, seolah ada sosok besar yang sedang menghembuskan nafas ke tengkuknya yang telanjang.

Benarkah setan sedang merasukimu, Mala? Benarkah ternyata setan itu ada, tidak seperti yang kucemoohkan selama ini? Zikhar semakin mendesir… sendiri…

Sudahlah Mala, kesah Zikhar bergidik, kau membuatku tak tenang. Dan kau sendiri tahu bahwa ketidaktenangan bukanlah satu pertanda baik dalam perjuangan. Bisa mati kita. Malah sebenarnya kita telah mati walau kita masih bernafas dan belum terterjang peluru. Dan kau kini sedang membunuhku dengan diammu, Bangsat! Zikhar berteriak tidak tahan.

Teriakan Zikhar tak membuat kesunyian pecah. Yang ada tetap diam. Bersama diam itu sendiri. Zikhar semakin mengeluh. Tidak lagi lewat suara yang berpendar tapi dalam hati, seiring dengan denyut nafasnya yang menghentak-hentak sendat.
Lebih baik begitu, memang. Tak ada gunanya membuka suara bila tak ada yang mendengar. Memang lebih baik dalam hati. Toh, sama saja. Sama-sama tidak terdengar. Malah sebenarnya lebih menguntungkan. Sebab kita tidak perlu menarik urat leher.

Leher! Zikhar memandang ke leher Mala yang baru saja dicekiknya tadi. Terdapat bekas tapak memerah di atas pualam putih.

Menyesal juga ia telah melukai batang leher Mala yang bening itu. Seperti menara Daud, bila boleh mengutip rayuan Raja Sulaiman terhadap perempuan Sunem kekasihnya, begitulah keindahan leher Mala. Walau ia sendiri tidak tahu seperti apa menara Daud itu sebenarnya. Tapi pasti sungguh indah. Tak mungkin raja yang begitu berhikmat itu asal mencomot parabel. Bila Mala ada pada jaman Sulaiman, tentu raja itu akan berpaling dari perempuan Sunemnya dan balik mengejar-ngejar Mala. Dan rayuannya tentang menara tadi pasti akan ditujukan kepada Mala. Zikhar tersenyum sendiri. Senyum yang lebih sebagai penghiburan bagi dirinya sendiri.

Dan Mala tentu lebih perkasa dibanding perempuan Sunem itu. Bahkan lebih perkasa dari Xena, ksatria wanita dalam dongeng yang pernah ia dengar waktu kanak-kanak jauh sebelum perang ini pecah. Namun Mala tidak seberotot Xena. Ia memiliki kecantikan dan tubuh seorang wanita sejati serta semangat seorang perempuan tulen, tapi ia bukan dari jenis yang demikian. Ia tetap seorang betina.

Kecantikannya seperti Ester, saudara Mordekhai, yang dengan kecantikannya itu, ia pernah menyelamatkan bangsanya dari genosida yang tidak beralasan. Dan elannya seperti Debora, seorang nabiah bangsa Yahudi kuno, yang mampu memukul mundur musuh-musuh bangsanya sekaligus mempermalukan para lelaki sebangsanya yang pengecut, sepengecut para lelaki bangsa Mala sendiri termasuk … Zikhar.

*****

DALAM situasi tertelan keterkatupan yang senyap seperti ini, sosok keperkasaan Mala masih terlihat nyalang. Sekalipun kini gelap telah mengunyah habis terang matahari yang pongah, keperkasaan Mala tetap berkobar tak tersentuh. Sehingga jadilah ia kini sebagai nyala matahari yang kian menerang.

Sementara itu Zikhar kembali meracau. Keluh yang ia tahan sedari tadi menyumbat tenggorokannya kini memuntah kembali. Racauan yang semula penuh hunjaman kata-kata tajam kini tak lebih dari erangan kucing berahi atau kucing gila yang kehilangan anak: kosong, remah, buram, tak jelas dan sia-sia.

Zikhar kini benar-benar putus asa. Impian kemenangan gemilang yang sempat menari seronok dan menyanyi gegap di sepanjang labirin otaknya kini menghitam sesuram bibirnya yang hitam karena candu.

Makin jelas kini, betapa lelaki ini sungguh-sungguh sangat menggantungkan seluruh takdirnya di bawah kangkangan Mala. Seperti juga para lelaki lain sebangsanya, yang lebih memilih Mala untuk memperjuangkan nasib mereka sementara mereka sendiri lebih memilih berdiang di rumah yang hangat, bersenggama dengan istri mereka yang penurut dan menampar anak-anak mereka yang nakal, dibanding pergi berperang. Dalam hal ini Zikhar lebih baik daripada mereka itu, sebab ia turut berjuang. Itu pun mungkin karena Zikhar masih membujang dan tidak mempunyai pekerjaan yang lain. Entah bila ia telah menikah. Mungkin kelakuannya akan sama seperti para pengecut-pengecut itu. Bagi mereka, Mala sungguh-sungguh melebihi sosok Anubis, Artemis, Kwan-Im, Sri atau Perawan Maria.

Hening semakin tenggelam dalam kersau-kersau angin yang mengalir beku. Racauan Zikhar pun telah menjatuh sebagai bongkahan-bongkahan es yang putih mengkristal. Racauannya kini berubah menjadi gigil, walau Zikhar masih terus merangkainya menjadi kata (biar Mala kembali pada kesadarannya yang penuh, pikir lelaki malang ini). Namun Mala masih bungkam. Sebungkam binatang malam yang enggan keluar dan berkeceriap dalam cuaca laknat seperti ini.

Dalam kebungkamannya, Mala masih tetap menatap lurus ke langit. Seolah dengan bungkamnya ia hendak merobek perut langit dan memburaikan segala planet, matahari, bulan, bintang, galaksi dan isi perutnya yang lain sekalianan.

Keadaan ini sungguh mendebarkan Zikhar. Bahkan waktu pun ikut tersihir keheningan Mala dan ikut-ikutan diam. Ah, panjang sekali malam ini, desah Zikhar lagi. Jangan-jangan udara ini pun mendingin akibat sihir Mala yang akhirnya membuat dia mati dan membujur beku.

Zikhar semakin gelisah. Dan kegelisahan itu ia coba tuangkan dalam racauan-racauannya yang kian tidak berarti. Sungguh, benar-benar lelaki malang ….

Kesunyian Mala semakin menular, merambat ke segenap penjuru. Semuanya mendiam (mungkin Tuhan yang entah ada di mana itu juga turut diam!). Hanya gelap yang bergerak semakin menggagahi bunda bumi secara membabi buta.
Ah, inikah tanda dari kekalahan? Inikah ritus yang harus selalu dihadapi oleh para pecundang demi menangisi kemenangan yang terempas?

Ataukah, ataukah ini justru adalah subuh kemenangan yang selalu membuat jantung berdentam lebih cepat dan adrenalin meningkat dengan tajam itu? Mungkinkah gelap itu adalah berkas sinar kemuliaan kepak sayap para malaikat, dan sunyi adalah nyanyian gegap para serafim yang diiringi degup tambur-tambur yang riang? Ataukah .….. ataukah……ataukah?

Ah, Mala, keparat kau…! Jawablah aku, Betina! Tuntaskan penasaranku! Jangan engkau terlalu larut menikmati senggamamu dengan sunyi itu!

Hitam semakin mengkabut. Hanya Mala yang tetap menyala beku. Sementara Zikhar masih tetap terus berusaha mengeja racauannya yang semakin kabur dengan tertatih.


Wednesday, February 26, 2003

Sewaktu medio Februari kemarin, ketika lagi balik ke Jakarta, aku nonton fil tengah malam. Aku lupa judul tepatnya. Kalo nggak salah Beyond Ozona. Di film tersebut, ada satu kisah yang diceritakan tentang gajah sirkus, Jumbo.



Pada tahun 1882, ada sebuah kekompok sikus yang besar. Salah satu bintang pertunjukkannya adalah Jumbo, seekor gajah besar, yang juga memiliki kekasih--yang tentunya gajah juga.
Suatu hari, setelah usai pertunjukan, Jumbo dan kekasihnya pulang ke perkemahan bersama para pelatihnya sambil menyusuri rel kereta api. Tiba-tiba sebuah kereta meluncur dengan cepat dari kejauhan. Saat itu, Jumbo tepat berada di tengah rel kereta, sementara sang kekasih beada tak jauh di depan bersama sang pelatihnya. Jumbo begitu terkejut melihat kereta yang melaju cepat tersebut. Alih-alih bukannya menyingkir dari tengah rel, ia hanya terpaku, tidak tahu harus berbuat apa.
Melihat Jumbo dalam hadangan bahaya, sang kekasih berteriak keras menyuruh Jumbo menyingkir. Pelatihnya pun turut berteriak dan berusaha untuk menghalau Jumbo.Namun Jumbo tetap diam dalam keterkejutannya. Hingga akhirnya kereta itupun melibasnya.
Jumbo terkapar parah dengan gadingnya sendiri menusuk ke dalam mulutnya. Ia begitu diam dan pasrah pada kematian. Sang kekasih menghampiri Jumbo dan meratapi tanpa tahu harus berbuat apa selain menangis. Ya, menangis. Saat itu sang betina menitikkan air mata seakan tidak rela Jumbo mengalami hal itu. Seaka ia ingin menguatkan Jumbo dalam penderitaannya. Seakan ia berkata, "Sayangku, tidak akan kubiarkan engkau pergi tanpa kehadiranku. Apapun yang dapat kulakukan untuk menyelamatkanmu atau sekedar dapat ikut bersamamu, akan kulakukan. Apapun itu". Para pelatih hanya terpaku. Mereka semua redam dalam keheningan duka. Seolah mereka sedang menanti saat-saat terakhir mengantar Jumbo pada gerbang perpisahan antara hidup dan maut.
Jumbo memang mati. Setelah kematiannya, sang kekasih terus dirundung kesedihan yang mendalam. Tak lama kemudian, sang betina menyusul Jumbo.



Cinta, kematian, dan kesetiaan.

Apakah yang dapat menjadi penawarnya? Bila memang cinta terlahir dari hati, apapun tidak akan pernah menjadi penghalang seseorang, atau bahkan seekor--seperti Jumbo dan kekasihnya, untuk tetap bersama. Itulah yangmungkin dapat dikatakan sebagai kesejatian cinta.

Aku tak pernah habis pikir, ketika seseorang mengucapkan cinta, apakah yang terkandung dalam pengakuannya itu? Adakah suatu niat yang tulus? Ataukah hanya sekedar keinginan sesaat yang semu? Sekedar keinginan untuk memuaskan daging yang selalu membutuhkan pemenuhan tuntutan atas segala keinginannya?

Apakah cinta yang sebenar-benarnya itu?

Cinta tidak dipandang saat seseorang berkata 'aku mencintaimu'. Itu juga bukan awal. Cinta adalah sebuah perjalanan. Yang entah dari mana awalnya, tapi pasti di mana akhirnya.

Kesetiaan adalah cinta.

Aku pernah menulis pada buku harianku--sekitar tahun 1997 kemarin, amor vincit omnia, cinta mengalahkan segalanya. Dan yang menjadi penegas bagiku untuk menulis hal itu kesetiaan, rasa penundukkan diri sepenuhnya kepada alter ego, kebersaerahan dan kemauan untuk berbagi apapun yang dihadapi, dialami, dipunyai dan dirasakan.

Ah, aku jadi teringat dengan alter egoku. Biarlah aku boleh menuliskan ini untukmu, Sayang: aku mencintaimu--ILYSM.


Sunday, February 23, 2003

Aku terkesan dengan apa yang dikatakan Pramoedya Ananta Toer, bahwa orang yang biasanya dianggapa anti Tuhan itu justru biasanya orang yang lebih sering memikirkan Tuhan.

Memang terkadang orang yang di-judge atheis itu justru orang yang lebih banyak memikirkan Tuhan, walau kadang beberapa diantaranya sampai mengambil keputusan untuk melupakan Tuhan atau menafikan-Nya atau menganggap Dia tidak ada.

Ada beberapa orang yang menganggap aku atheis karena aku menulis tentang takdir, atheisme, eksistensialisme dan beberapa tulisanku terlihat begitu putus asa sampai-sampai seolah aku menghujat Tuhan dan ingin meninggalkan-Nya.

Padahal hal meninggalkan Tuhan tidak pernah terlintas dipikiranku. Aku hanya ingin bercengkrama dan berdebat dengan Dia, karena aku percaya Dia adalah Tuhan yang hidup dan masih berbicara. Makanya aku berdialog dengan Tuhan.

Mereka yang terlalu 'mensakralkan' Tuhan biasanya memandang picik mereka yang berbicara tentang Tuhan. Bukankah nabi-nabi dan para orang suci juga sering diperlakukan demikian? Tapi, meninggalkan Tuhan? TIDAK PERNAH TERPIKIR SAMA SEKALI!

Tuhan...

aku nggak mau badung lagi ....

Buku Paling Membosankan

Seorang gadis mendatangi front-desk sebuah Perpustakaan Umum, "Minggu yang lalu saya meminjam sebuah buku, tapi itu adalah buku yang paling membosankan dari semua buku pernah saya baca. Tidak ada cerita atau tidak jelas sama sekali, juga terlalu banyak karakter aneh!"
Penjaga perpustakaan menyahuti, "Oh, pasti Andalah orangnya yang telah membawa buku telepon kami."


Masih Untung

Suatu hari Joni membeli mangga di pasar, "Ini mangga jenis apa cak?'"
"Oh itu arum manis dik, besar-besar, murah lagi," jawab si tukang mangga.
"Manis nggak?"
"Ditanggung manis dik. Kalau nggak percaya, coba dulu aja."
Setelah mencicipi dan ternyata manis, Joni membeli 2 kilo dan dibawa pulang. Sesampainya di rumah, ternyata mangga yang baru dibelinya itu masam semua. Joni pun marah dan bergegas membawa sisa mangga ke penjualnya, "Kamu bohong, mangganya kecut semua. Kalo jualan jgn nipu dong!"
"Sampeyan beli berapa kilo dik?" tanya si tukang mangga.
"Dua kilo nih, masam semua. Saya minta uangnya kembali!"
"Lho, sampeyan itu masih untung!"
"Apa maksudnya, ketipu kok untung?"
"Sampeyan dapat yang masam cuma 2 kilo, lha saya 4 keranjang masam semua."


humor ini pernah dimuat di Majalah SeRu! No. 10/05/I-5-18 Februari 2003

Tuesday, February 18, 2003

CIRI KHAS

Sejak peristiwa WTC, penjagaan dan pengawasan di bandara New York makin ketat. Suatu kali, di ruang tunggu bandara, dua orang petugas keamanan bandara memperhatikan gelagat seorang berwajah melayu yang sangat mencurigakan. Wajahnya pucat, gelisah dan celingukan, kemudian tiba-tiba melesat lari meninggalkan ruangan.

Khawatir orang tersebut adalah seorang teroris yang hendak meledakkan bandara, seorang dari petugas tersebut berusaha mengejar orang tersebut. Selang beberapa lama, petugas itu kembali dengan wajah tenang seperti tak ada apa-apa.

"Siapa orang itu? Kemana perginya?", tanya rekannya.

"Ah, itu hanya orang Indonesia yang kebelet buang air besar," jawab petugas yang menguntit tadi.

"Apakah kau telah menginterogasinya?"

"Tidak perlu interogasi. Waktu aku mengejarnya, ia lari masuk toilet. Lalu aku intip celah bawah pintu ruangan yang ia masuki. Dari situlah aku tahu ia orang Indonesia"

"Apa yang membuatmu yakin ia adalah orang Indonesia?" rekannya semakin heran dengan analisis petugas tersebut.

"Sebab kakinya nggak ada," jawabnya tenang.



FOTO KENALAN

Seorang pria dari negara yang terbelakang hendak menjadi warga negara Amerika Serikat. Dalam proses naturalisasinya, ia diuji mengetahui pengetahuannya mengenai Amerika Serikat.

"Coba kau sebutkan nama pria yang terpampang di dinding itu," kata si penguji sambil menunjuk foto John F Kennedy.

Setelah mengamati beberapa saat, pria itu menjawab, "Saya tidak mengenalnya."

Penguji pun menunjukkan foto Bill Clinton, "Coba kausebutkan nama orang ini."

"Saya pun tidak mengenalnya."

Sekali lagi penguji menunjukkan foto George W. Bush, "Bagaimana kalau yang ini?"

"Saya sama sekali tidak mengenalnya."

"Wah, maaf sekali kalau begitu, Anda tidak dapat menjadi warga negara Amerika Serikat," kata petugas itu sambil geleng-geleng kepala.

Dengan kesal, pria itu mengeluarkan sebuah foto dari dalam dompetnya. "Kamu tahu siapa yang ada dalam foto ini?" tanyanya kepada si petugas penguji.

"Mmm.., maaf, saya tidak mengenalnya."

"Ini adalah keponakanku! Nah, kau lihat kan bahwa kita sama-sama mempunyai kenalan masing-masing. Jangan hanya karena aku tidak mengenal teman-temanmu itu maka aku tidak bisa menjadi warga negara Amerika Serikat. Itu diskriminasi, tahu?!!" damprat pria itu berang.



humor ini pernah dimuat di rubrik HUMOR Koran Tempo, Minggu, 9 Februari 2003

Monday, February 03, 2003

Adalah Cinta

adalah
cinta
yang
membuat
kita
tetap
ada
membungkus
jiwa
dengan
hangat
rasa
kadang
juga
dengan
beku
redam
adalah
cinta
juga
yang
mencahaya
pendar
memberi
indah
walau
ia
pun
membakar
menghitam
arang
jiwa
tanpa
makna

Jatinangor, Juli 2002

Ruang dan Waktu

adakala,
ruang dan waktu
tak memberi kita
barang sejenak
hampar untuk berdiam
dalam permenungan
menjelajah diri sendiri

dan kita terbawa pongah
, aku dan engkau,
terlalu batu
gesa memburu
seperti hantu
membayang tubuh
hingga titik
engkau letih
dan aku juga

sekiranya waktu henti sejenak
dan ruang longgarkan sesak
kita mengharap mendapat
pencerahan yang sempat terpampat

aku dan engkau....,
ah sekiranya ruang waktu
dapat terbunuh,
mungkinkah kita
dapat kembali bersetubuh

Jakarta, Januari 2003 awal

Gulat Waktu

dan kita semakin memburu
waktu yang memburu kita
... sedang tangan terkepal
kian tak berarti
: saat kepal tak lagi rapat
sementara nafas semakin pendat

Jakarta, Januari 2003 awal

mungkinbila
...mungkinbilawaktunyaakuakandatangkepadamudenganbungaseindahlolipopyangseringkaukecaplebihdashyat darikecupmudibibirkutidaksekedardenganpuisibasidimulutyanghanyamembuatdahagalidahdansemakinkering jiwayangsusahakudatangtaksekedarmembawaburunglayusepertiseribuankumalditangankondekturtapidengan dentamdentumsepertiyangadadidiskotikagarkautetaprekahataubagaimanamungkinkahbilakausajayang mengunjungikudiduniaakumenyepisekedaruntukmenyiramtanahdanmenaburbungadiatastubuhkuyangberselimutbelatung...

Jakarta, Januari 2003 awal