Thursday, December 25, 2003

MAAF, TAK ADA NATAL KALI INI



Kadang aku berpikir, bila Natal tak pernah ada. Mungkin takkan ada pohon Natal dengan segala kelap-kelipnya. Mungkin takkan ada Santa dan Piet Hitam. Takan ada hadiah-hadiah Natal. Takkan ada tanggal merah dan hari libur pada tanggal 25 Desember. Dan orang-orang akan melewati hari itu sebagaimana hari-hari lainnya sebagaimana biasanya, sebagaimana mestinya.

Bila tak ada Natal, aku kadang berpikir, apakah orang akan menciptakan hari lain untuk menyambut sang Santa yang datang dengan sekarung hadiah sambil menaiki kereta rusa kutub, apakah salju akan menjadi sesuatu yang mendatangkan ilham yang dramatis.

Aku pernah membaca sebuah artikel tentang kelahiran Yesus. Bila dirunut dari tanda-tanda alam dan sistem penanggalan Yahudi, Yesus memang sama sekali tak lahir pada bulan Desember. Mana mungkin para gembala mau bermalam di tengah padang rumput menemani ternak mereka bila pada saat itu adalah saat musim dingin di mana cuaca akan sangat menggigit kulit dan tulang mereka?

Dalam artikel yang kubaca, dengan melihat tanda-tanda alam, sejarah kelahiran Yesus bila dirunutkan ditambah dengan kisah-kisah yang ditulis dalam Alkitab, sangat mungkin bila Yesus justru lahir pada bulan September.

Bulan September. Bulan kelahiranku juga. Malah bisa jadi ia lahir pada tanggal sebagaimana aku lahir. Dan bila kita mau merayakan Natal, mengapa tak rayakan pada bulan September? Buatlah pada tanggal kelahiranku, bila kita memang tak tahu pasti tanggal kelahiran-Nya.

Tapi tak mungkin bukan, bila Natal dirayakan pada bulan September?

Bila tak ada Natal, aku kadang iseng berpikir, apakah akan tetap muncul dongeng tentang seorang kulit putih, berjanggut putih dan berjubah merah yang dengan baik hatinya membagi-bagikan hadiah kepada anak-anak yang baik, ditemani pembantunya yang berkulit hitam yang bertugas menghukum anak-anak nakal? Bila tak ada Natal, akankah kisah kelahiran Yesus seperti yang ada dalam Kitab Suci akan tetap terjaga kemurniannya atau malah justru tetap terlupakan?

Sejujurnya, aku merasakan ada kesenangan bila Natal datang sebagaimana yang terjadi tiap tahunnya seperti selama ini. Akan ada hari libur di mana aku bisa berisitirahat sejenak dari segala kejenuhan hidup. Akan ada film-film katun dan film-film keluarga yang jalan ceritanya sangat menyentuh dan kadang beberapa menggelitik. Betapa menyenangkan, bukan? Akan ada juga choir-choir himne Natal. Walaupun ada pula kegelisahan: yang berulangtahun justru terlupakan. Yesus tak terbersit dalam pikiran kebanyakan orang melebihi sang Santa.

Ada sesuatu yang berbeda pada Natal kali ini. Aku menikmati Natal sendiri di pemondokanku, tanpa televisi, tanpa nastar, kacang dan kue loyang buatan ibuku. Tanpa orang terkasih. Hanya aku dan aku sendiri.

Tapi mungkin memang takkan ada Natal kali ini. Sebagaimana tak ada Natal pada tahun-tahun sebelumnya (sebuah paradoks dibanding pernyataan sebelumnya, bukan?)--hanya saja kita tak menyadari, mungkin karena kita terlalu gegap menyambutnya. Karena kisah tentang Yesus hilang dari pokok perayaan.

Mungkin tak ada Natal tahun ini. Yesus toh tak lahir pada tanggal 25 Desember. Dan Natal takkan menjadi ritus perayaan sia-sia pada satu hari yang, lalu kemudian lenyap tertiup hembusan angin waktu menjadi kenangan tak berarti dan tindakan pemborosan.

Mungkin Natal takkan ada kali ini. Karena Yesus hilang dari kisah penuturan-penuturan orangtua yang takut sehingga menciptakan mitos Santa dan Piet demi menjaga keakuan baik anaknya dan berusaha menjadi alat suap untuk tetap menjadikan mereka sebagai anak baik. Dan oleh karena itu, adalah lebih baik bila Natal ditiadakan saja kali ini.

Natal kali ini tak terlalu istimewa bagiku. Toh aku banyak tertinggal dalam banyak hal. Pun bila ada sesuatu yang istimewa, yang ada hanyalah bahwa ada kesadaran baru yang membuatku mengakui bahwa aku tak bisa jauh dari Allahku dan itu membuat aku berusaha membawa hatiku kembali tertuju kepada-Nya sebagaimana aku pernah mencintai-Nya untuk pertama kalinya dengan kasih mula-mula yang berkobar.


Maaf, tak ada Natal kali ini dalam hariku. Tapi ada Yesus dalam hatiku.

Monday, December 15, 2003

Tukang Roti Menulis Puisi


apakah rasa puisi itu sebenarnya?
tanya tukang roti dalam hati
adakah ia serasa keju, coklat, mocca atau stroberi
seperti roti yang kujual tiap pagi?


tukang roti bertanya dalam hati
bagaimana seseorang bisa begitu mencintai puisi
"itu adalah kata kata sakti
yang dapat mengubah dingin sehangat sekam
melebihi pelukan seorang perempuan"
jawab seorang penyair jalanan

apakah puisi dapat mengenyangkan perut?
dahi tukang roti berkerut

dibakar penasaran, dicobanyalah untuk membuat puisi
tapi gagal, otaknya sama sekali tak berkembang
seperti adonan roti yang dia buat setiap petang

sama sekali tak dapat kucipta puisi
kata kataku hanya sekitar dada, perut dan paha
tak mengalamai kebermaknaan
sama sekali tak mengandung sisi estetis
silabis
linguis
dan is is lainnya


si tukang roti kecewa
lalu jatuh tertidur pulas
keletihan

di mimpinya dia lihat
gerobaknya ternyata sebuah puisi
peluh dan varisesnya juga adalah sebuah puisi
juga rotinya, adalah sebuah puisi
harapan yang mengurungnya juga sebuah puisi

dan matinya saat bermimpi
hari itu
adalah juga sebuah puisi


/jatinangor, 13 desember 2003





Sajak Pagi


pagi ini dingin sekali
dan sepi

embun yang meliur dari mulut subuh
masih bergerumbul di atas kaca jendela
di atas kuncup kuncup bunga

di atas bangkai seekor kodok

pagi semacam ini
membangkitkan birahiku menciumi bau teh tong tji
dengan segumpal melati


/jatinangor, 13 desember 2003





Ini Sebuah Sajak Cinta!!!


amor vincit omnia


biar tumbuh seribu jerawat di wajahmu
dan selulit mengulir di pantatmu berpuluh puluh
aku tetap mencintaimu
dengan kepayang aku mencintaimu

juga mencintai tiga rambut di putingmu
yang mirip janggutku
mencintai kutil di paha kananmu
mencintai ketombe dan minyak di kepalamu

mencintai wasir yang manis mencuat dari lubang anusmu
mencintai pesing yang menempel di triumph-mu
mencintai apekmu
dan peluhmu
dan liurmu
dan isapmu
dan gigitmu

aku mencintaimu utuh utuh
sepenuh hatiku
demi nama seluruh isi perutku

aku mencintaimu bulat penuh
mencintaimu sekeras taikku!!


/jatinangor, 14 desember 2003

**amor vincit omnia: cinta mengalahkan segalanya




Saturday, December 13, 2003

PM: 3. Busway, Three in One, dan Jakarta



Pemerintah propinsi DKI Jakarta akhirnya menetapkan bahwa busway akan mulai dioperasikan mulai pertengahan Januari 2004. Alasan resmi proyek ini adalah demi melancarkan lalu lintas Jakarta yang kian hari kian jenuh, tak ubahnya Kali Galur di daerah Kemayoran sana. Nah, dengan busway ini, diharapkan para manusia yang biasa berkantor menggunakan mobil-mobil pribadi akan beralih menggunakan transport busway ini. Sehingga mobil-mobil yang berkeliaran di jalan-jalan Jakarta akan berkurang jumlahnya

Demi melancarkan program ini, Pemerintah DKI mulai mengeluarkan suatu regulasi baru yaitu pemberlakuan kawasan three in one yang diperpanjang hingga pukul 20.00. Selain itu, Pemerintah DKI juga akan membatasi jumlah kendaraan yang berseliweran di Jakarta tiap harinya dengan melarang kendaraan dengan pelat nomor pelat tertentu beoperasi pada hari tertentu.

Sebagian kalangan menganggap proyek busway hanyalah proyek akal-akalan Pemerintah DKI untuk menangguk untung, alih-alih untuk menjawab kemacetan yang sudah seperti tumor di Jakarta.

Memang, dengan dioperasikannya bis, secara logika matematis, maka jumlah kendaraan pribadi yang kadang penumpangnya hanya satu-dua orang itu akan berkurang. Tapi Pemerintah lupa bahwa kebanyakan orang, terutama mereka yang the have, agak ngeri bila naik dengan kendaraan umum karena tingginya kriminalitas di sana. Bayangkan tukang ngamen yang kerap memaksa. Bayangkan tukang puisi yang apa entah isi puisinya karena dia bersyair seolah-olah sedang dirasuk alkohol. Sementara bagi mereka, kenyamanan dan keamanan merupakan faktor penting. Itulah mengapa memilih naik kendaraan pribadi.

Daripada mengoperasikan busway, yang kelahirannya mengundang cemooh karena menggunakan lajur kanan itu, mengapa pemerintah tidak merehabilitasi saja bis yang sudah ada? Tidakkah ini merupakan akal-akalan saja untuk menangguk untung yang lebih besar? Ingatlah tentang pengoperasian bis atau kereta listrik bantuan dari Jepang. Masyarakat agak ogah naik jenis transportasi ini bukan karena sudah terbiasa berhimpit-himpitan, tapi karena tarifnya dinilai terlamapu mahal bila dibandingkan dengan kendaraan sejenis sebelumnya. Dan pastinya, jika kita bandingkan tarif busway ini, pasti akan lebih mahal bila dibandingkan dengan naik kendaraan Patas sekalipun.

Pemberlakuan pelarangan kendaraan dengan pelat nomor tertentu untuk beroperasi pada hari tertentu juga sepertinya merupakan kebijakan absurd. Patut dipertanyakan, apakah peraturan ini berlaku juga bagi mobil para pejabat kita, mulai dari Mbak Mega, para menteri dan Sutiyoso serta aparat-aparatnya? Apakah ini juga berlaku bagi mobil pamong praja yang sering merazia pedagang kaki lima? Mungkin ini pertanyaan usil yang bodoh, tapi masih patut untuk dipikirkan bukan? Mungkin saja mereka-mereka yang disebutkan tak terlalu khawatir, toh mereka bisa jadi punya lebih dari satu kendaraan dan pelatnya tentu sangat bervariasi.

Rasa-rasanya pemerintah kita bisa jadi terlalu banyak pikiran dengan segala macam urusan politik atau mungkin bagaimana caranya untuk mencari sedikit celah menambah penghasilan "biar asap di dapur tetap bisa ngebul", sehingga mereka tak mampu lagi melihat permasalahan yang terjadi di masyarakat secara jelas dan menghasilkan peraturan yang benar-benar ampuh untuk mengatasi permasalahan tersebut.

Berbahagialah saya yang memang dari lahir nggak punya kendaraan sehingga saya akan terbiasa naik bus walau harus selalu berdebar-debar dan menyebar uang di segala saku supaya tetap punya uang kalau kecopetan, plus menyiapkan banyak recehan limaratusan biar mudah "bersedekah" bila ada pengamen atau penyair ngawur yang membutuhkan uluran tangan saya.

referensi: http://www.tempo.co.id/hg/jakarta/2003/12/09/brk,20031209-52,id.html

Tuesday, December 09, 2003

PM: 2. GARUK... GARUK... KE PUNCAK GUNUNG...


Tadi pagi saya harus ke Jakarta kembali karena selama seminggu ini saya tidak bisa mengakses kamar gara-gara kunci kamar lupa saya bawa saat kembali ke Bandung hari Rabu kemarin. Lumayan capek sih. Pergi jam delapan pagi dari tempat kost, dan kembali lagi di Jatinangor sekitar jam sebelas malam.

Waktu bis yang saya tumpangi mulai bersiap meninggalkan terminal Kampung Rambutan, ada pemandangan yang bikin miris. Apalagi kalau bukan tren garuk-menggaruk yang kini lagi getol-getolnya dilakonin oleh aparat Pemda DKI seperti halnya remaja putri ABG keranjingan F-4.

Yang membuat saya miris adalah ketika melihat botol-botol minuman ringan yang masih bersegel pecah berserakan di tepi jalan, bungkus-bungkus rokok yang peyang diinjak-injak aparat, dan gerobak-gerobak yang digulingkan dengan pongah. Seola-olah aparat sedang menjalani lakon wayang orang saat terjadi bubat. Seolah-olah mereka adalah Batman yang sedang menjalankan kewajiban menghancurkan kejahatan. Mata mereka dibutakan oleh congkak. Atau bisa jadi mereka tidak mau kelihatan begitu lemah lembut menghadapi para pengasong saat disorot oleh kameramen televisi swasta. Selayaknya jagoan, mereka harus tampil sesangar mungkin dan segalak mungkin. Kapan lagi mereka bisa disorot kamera dan masuk ke acara televisi. Dan sudah sepatutnya jika mereka harus tampil sebaik-baik mungkin.

Padahal Batman nggak kayak gitu deh.... Yang merasa bangga dengan penampilan sangar hanyalah preman dan para tukang sajak yang berlagak mabuk di atas bis biar ditakuti dan mendapatkan "sedekah". jadi, sebenarnya patut dipertanyakan, darimana doktrin yang dicekokkan ke dalam otak aparat kita itu sehingga mereka punya pikiran semacam itu. Jangan-jangan mereka belajar secara otodidak dari mereka yang suka nongkrong di gedung DPR/MPR di Senayan sana dan mereka yang pakai badge kabinet republik ini? Entahlah....

Saya teringat berita pada beberapa waktu yang lalu, saat Sutiyoso mengijinkan para pedagan kakilima memakai sebagian badan jalan untuk lahan berjualan di daerah Cawang dan Pasar Senen. Tapi sekarang, dia malah menjilat ludah sendiri. Dia garuk dan babat pedagan kakilima.

Masih mending bila dia "menertibkan" para pedagang tersebut dengan sebuah solusi pemecahan masalah, seperti bagaimana penempatan mereka setelah ditertibkan karena biar bagaimanapun juga, berdagang adalah matapencaharian mereka. Alih-alih menghancurkan barang dagangan mereka, adalah lebih baik bila para aparat lebih bertindak arif, bijak dan manusiawi tanpa meninggalkan sisi ketegasan, tentunya. Bukankah "manusiawai" adalah salah satu moto DKI?

Sikap represif aparat terhadap para pedagang kakilima sangat patut disayangkan. Bukankah kekerasan selalu menghasilkan kekerasan? Dan kekerasan yang semakin berakar pangkat ini makin lama makin bisa menjadi bara yang hingga tiba waktunya menjadi letupan yang tak terduga.

Pun seharusnya pemerintah DKI seyogianya memiliki kemampuan berempati terhadap para rakyat kecil. Coba bayangkan, Bang Yos, bagaimana bila rumah Anda harus digusur tiba-tiba saat hari raya Idul Fitri dan dagangan anda dibanting-banting, sementara hanya itulah satu-satunya sumber kehidupan bagi Anda sekeluarga.

Ah, tapi rasanya mustahil Bang Yos mampu merasakan kepahitan macam apa yang ditimbulkan dari perlakuan-perlakuan seperti itu. Wong, rumahnya aja di daerah Menteng yang sangat aman dan nyaman. Lagipula, Bang Yos kan nggak jualan teh botol dan rokok ketengan, tapi jual proyek pembangunan.. upss... Tapi bener kan, Bang? Hehehe...


/jatinangor, 9 Desember 2003, 01.10am

Tuesday, December 02, 2003

Pojokan Milis: 1



PM: 1. KEMBALI FITRAH


Pada Lebaran kedua, saya menonton televisi yang headlinenya sudah pasti dapat ditebak dengan mudah, yaitu mengenai malam takbiran yang dirayakan di berbagai tempat dan oleh berbagai lapisan kalangan. Sambil menikmati ketupat kiriman tetangga, perasaan saya miris saat melihat dua tayangan berita utama.

Berita pertama adalah tentang perayaan takbir yang dihadiri Mega, Taufik Kiemas, Sutiyoso dan para pejabat dan yang merasa pejabat di Islamic Centre, Kramat Tunggak (bekas lokalisasi WTS terbesar di Jakarta yang digusur oleh Sutiyoso). Mereka tentunya hadir dengan pakaian terbagus mereka yang indah-indah itu dan dengan hiasan senyum yang entah apa maknanya.

Setelah berita itu, disusul tentang perayaan takbir yang dirayakan bersamaan oleh para penduduk Kali Adem yang merupakan korban gusuran beberapa hari sebelumnya di antara puing-puing kediaman mereka. Betapa trenyuh melihat mereka mengumandangkan takbir disertai tangis. Mereka bertakbir di tengah-tengah kumpulan tenda darurat yang seadanya terpancang dan berdesak-desak bersama barang-barang yang mereka anggap bernilai dan bisa mereka selamatkan.

Di pikiran saya juga sempat terlintas, di manakah para "tuna susila" yang telah terusir dari Kramat Tunggak itu merayakan takbir? Apakah di benak para pejabat atau yang merasa dipejabatkan itu tak terlintas sedikitpun kesusahan penduduk Kali Adem dan tentunya penghuni daerah-daerah lain yang selama ini menjadi korban gusuran Pemda DKI yang konon katanya "demi kepentingan orang banyak" itu? Dan yang melintas di pikiran saya saat itu adalah wajah Sutiyoso yang senyum sumringah menyambut kedatangan Mega dan berdampingan dengan bayangan itu adalah takbir yang keluar haru dari penduduk Kali Adem.

Idul Fitri adalah hari kemenangan di mana umat Islam difitrahkan kembali setelah sebulan menjalankan ibadah shaum. Dan kefitrahan ini disalahartikan oleh para pejabat kita untuk mem-"fitrahkan" ibukota dalam artian fisik dari berbagai macam kuman penyakit urban seperti pemukiman kumuh, pengangguran dan semacamnya.

Mereka mungkin alpa atau sengaja meng-alpa-alpa-kan bahwa di atas semua itu, kefitrahan yang hakiki yang seharusnya dipetik setelah melewati Ramadhan adalah kefitrahan hati, jiwa dan sikap-sikap. Jiwa tidak lagi dikotori dengan mental yang mau menang sendiri atau dengan mudahnya melempar akibat dari kebodohan sendiri dengan menuding pihak lain sebagai penyebabnya. Kefitrahan yang membuat kita mampu melihat jernih dengan mata hati sehingga dapat bertindak bijak dan tak mudah dikecoh oleh keserakahan. Kefitrahan yang memampukan kita berani mengakui kesalahan kita di depan umum tanpa harus mereka-reka alasan dan apologi palsu dan hipokrit.

Dan apa yang dilakukan pejabat penggusur itu? Mereka membuat iklan layanan yang menyarankan para korban gusuran dengan iklas dan lapang dada menerima penggusuran itu sebagai sebuah tindakan terpuji dan patriotis karena mereka telah mendahulukan kepentingan orang banyak dibanding kepentingan pribadi. Jadi, jika anak-anak mereka sakit diare, demam atau semacamnya karena tidak mendapat tempat tinggal dan perawatan kesehatan yang layak paska-penggusuran, itu artinya adalah mereka telah melakukan tindakan heroik yang menyelamatkan muka bangsa ini (dan tentu saja muka pejabat kita, iya kan?)

Kalau kita sempat melihat iklan ucapan selamat Idul Fitri dari Ibu Presiden kita, tentu kita dapat menangkap makna iklan itu dengan mudah: setelah diri kita difitrahkan, apakah kita akan mengotorinya kembali? Sebuah pesan yang bagus, bukan? Mudah-mudahan pesan itu bukan sekedar alat kampanye terselubung menjelang Pemilu 2004, tapi lebih merupakan suatu ucapan yang tulus dan suatu hasil dari permenungan yang dalam dan sungguh-sungguh dari para pemimpin kita untuk memperbaiki diri dan sebagai usaha untuk tetap mempertahankan kefitrahan diri, sehingga mereka mampu menjalankan kemudi bahtera republik ini dengan hati, pandangan, pikiran dan semangat yang bersih. Amin.

Saya mengucapkan selamat Idul Fitri, mohon maaf lahir bathin. Walau telat, namun semoga tetap bermakna.


/jakarta, 26november2003 - jatinangor, 2desember2003