Wednesday, July 31, 2002

TENTANG MENULIS


Pramoedya Ananta Toer pernah nulis di salah satu novelnya--dengan bahasaku sendiri, "seberapa pintarnya engkau, jika engkau tidak menulis maka semuanya akan hilang begitu saja". Dan aku yakini bahwa aku adalah salah satu manusia terpintar. Mengapa? Bukankah aku telah sering menulis? Sejak aku masih SD aku sudah sering bertutur dongeng dan menulis. Aku telah menulis puisi--walau tak terdokumentasi dan hilang begitu saja-- dan sekedar uneg-uneg atau essai-diri-sendiri pada buku harianku. Berdasar tesis Pramoedya tadi, bukankah aku layak menyebut diriku sebagai salah satu manusia terpintar.

Namun kepintaranku takkan ada artinya bila tak ada orang yang mengetahui. Bukan sekedar kesombongan atau ingin dikenal sebagai mahluk pintar, namun lebih dari itu supaya kecerdasanku itu berdampak bagi orang lain. Mereka mengetahui jalan pikirku, mereka mengenali saat-saat di mana aku sedang ber-brainstorming dengan diriku sendiri, dengan kegelisahan benakku.

Bukan sebagai kesombongan jika aku mengakui bahwa aku cerdas. Sebab semua manusia adalah cerdas. Tak ada yang bodoh. Yang ada hanya perangai indolens. Indolensitas itulah yang melahirkan kebodohan. Bahwa semua manusia cerdas disebabkan karena manuisa itu berpikir. Nah permasalahannya sekarang adalah apakah manusia tersebut mau menuangkan pikirannya, gagasannya, bahkan kekacauan hatinya dalam sebuah tulisan.

Aku pun sampai saat ini masih belajar untuk menuangkan gagasanku pada tulisan. Entah itu dalam puisi, cerita pendek, essai-essai atau sekedar coretan pada buku harianku--dan terkadang coretan-coretan itu adalah dalam bentuk harafiah: benar-benar suatu guratan-guratan tak berarti seperti benang kusut.

Aku menyadari bahwa aku adalah manusia kompleks--homo complex--dan aku tak bisa memendam kebrutalan pikiranku hanya pada otak yang kapasitas memorinya tak dapat kugunakan sepenuhnya (menurut penelitian, kapasitas otak yang digunakan oleh manusia "biasa" adalah sebesar lima persen dari kapasitas sesungguhnya, sedangkan pada manusia "jenius" adalah tiga kali lipatnya, yaitu sekitar lima belas persen--ah, aku tidak terlalu suka dengan istilah "manusia biasa"-"manusia jenius" ini, tapi itulah menurut pendapat para ahli). Kekompleksanku itulah yang harus kubawa dalam satu gagasan tertulis, sebab jika tidak mungkin aku bisa menjadi gila. Dan aku harus akui bahwa menulis itu sendiri merupakan suatu kegilaan yang lain. Ya, suatu kegilaan yang lain, sebab setiap manusia dan setiap bidang kehidupan mempunyai kegilaannya masing-masing. Bahkan hidup itu sendiri merupakan suatu kegilaan, manusia itu adalah kegilaan, bahkan mungkin Tuhan pun adalah satu bentuk kegilaan yang lebih supra lagi. Dan bila kegilaan itu tidak disalurkan, maka kita akan disebut oleh manusia yang menyebut dirinya waras-padahal-gila sebagai orang gila [dalam artian seperti yang tercantum pada kamus bahasa--ahy, bahkan kamus bahasa itu pun adalah salah satu bentuk penyaluran dari sebuah kegilaan, bukankah begitu?]

Jadi, menulislah engkau wahai manusia-manusia cerdas! Menulislah engkau, bahkan pada langit sekalipun. Walau harus habis semua gunung untuk menjadi lembar lontar kita. Mesti harus punah lautan karena kering menjadi tinta kita. Menulislah engkau sebagai warisan pengetahuan bagi anak cucumu, sehingga engkau tetap terkenang, tidak hilang tak berarti, punah seturut punahnya tulangmu pada kuburmu!

CATATAN TANGGAL 31 JULI 2002


Tadi siang aku baru nganterin Andin ke terminal Leuwi Panjang, karena Andin mau balik ke Jakarta. Wah, tiga hari bersama Andin itu itu nggak terasa lho. Malah kayaknya nggak ada sehari deh aku bersama dia. But, dia kan mesti kerja besok, so, ya dia terpaksa kudu harus mesti balik.

Abis nganterin Andin, aku nggak langsung pulang ke Jatinangor, tapi aku main dulu ke BIP alias Bandung Indah Plasa, biasalah, sekedar baca-baca. Eh, niatan mau baca-baca doang aku malah jadi beli buku tentang manajemen strategi dua biji, majalah Horison, dan buku cerpennya Jujur P. Jadi booross.... hee..he... But that's OK!

Balik ke Jatinangor, aku iseng pingin nge-net, liat berita, cek situsku plus nulis di blogger ini. Dan sekarang... here it is.......

Mmmm, malem ini kayaknya aku bakalan kangenin Andin lagi nih ... Dear sweety, if you read this blogger, please phone me so you can know how I miss you ...

Thursday, July 25, 2002

CATATAN HARI KAMIS, 25 JULI 2002


Ah, aku terlalu dibeludaki oleh pikiran eksistensialisme akhir-akhir ini, sampai-sampai aku tak bisa berpikir lain. Aku merasa tereksekusi dengan kenyataan bahwa ternyata aku belumlah menunjukkan ke-eksistensian-ku sendiri. Aku belum siapa-siapa dan sedang tidak menuju siapa-siapa.

Namun aku merasa terhibur ketika aku berpikir bahwa kalau aku berusaha menyesuaikan diriku untuk menjadi suatu eksistensi maka aku bukanlah eksistensiku sendiri. Bukan berarti aku tidak mau menjadi sesuatu, tetapi biarlah perjalanan aku menjadi sesuatu tidak menjadi bebanku namun menjadi suatu identitas yang membuatku bangga, berkenan dan nyaman. Identitas yang membuatku menjadi satu entitas..

Monday, July 22, 2002

MENJADI EKSISTENSIALIS ATAU ATHEIS?

Aku menemukan diriku sendiri ketika aku berpikir, berkata dan bertindak. Tiada yang mengetahui diriku sendiri selain aku. Manusia lain hanya mengenal kita secara luar. Mereka tidak dapat menyelami kedalaman diri kita selain diri kita sendiri. Mengertilah! Jangan bergantung engkau pada penilaian orang lain. Jadilah dirimu sendiri. You which you are. Engkau yang adalah engkau sendiri!

Bagiku itu merupakan pengertian dari eksistensialisme. Engkau yang menjadi engkau sendiri. Engkau yang adalah engkau Engkau ada karena engkau eksis. Aku tidak sepikir dengan pendapat bahwa eksistensialisme selalu berkait dengan atheisme. Memang banyak pendukung eksistensialisme yang adalah atheis, sebutlah Albert Camus, Kafka, mungkin juga Nietzsche. Tapi saya kira tidaklah semua penganut faham eksistensialisme adalah seorang atheis. Saya tidak tahu apakah Iwan Simatupang, novelis Indonesia angkatan 1950-an, juga adalah seorang atheis. Dalam karya-karyanya seperti Merahnya Merah, Kering, Kooong, ia begitu kental dengan nilai-nilai eksistensialisnya. Namun ia juga mengangkat sisi religiusitas dalam karyanya. Kadang ia mengkritik keagamaan yang sekadar "agama" --dan bagi saya ini bukanlah suatu faham anti-Tuhan--, tapi ia juga pernah mengangkat penghormatan kepada sifat religiusitas yang nyata, tulus, tidak sektarian atau ekslusif.

Aku pun kini sebenarnya sedang menimbang, apakah aku seorang eksistensialis (aku tertarik pada paham ini setelah aku membaca karya Iwan Simatupang, Merahnya Merah dan Kering). Jika seorang eksistensialis adalah seorang atheis, berarti aku bukan seorang eksistensialis, sebab aku percaya akan adanya Tuhan. Namun aku memang sedang belajar untuk menjadikan aku, jika boleh aku mengutip Nietzsche, manusia yang manusiawi. Menjadikan aku sebagai manusia yang berpikir dan bertindak.

Atau baiklah dengan kata lain, janganlah kita dipusingkan dengan berbagai macam istilah. Apapun itu peristilahannya, entahkah itu eksistensialisme atau apa pun namanya, baiklah kita menjadi manusia yang manusia, manusia yang menjadi diri kita sendiri tanpa dibebani oleh tuntutan-tuntutan manusia lain yang justru malah membuat kita menjadi dekaden.

Sunday, July 21, 2002

TENTANG TUHAN


Saya heran, kenapa kok kalo manusia berbuat sadis selalu diparabelkan dengan binatang, "Ih, kayak binatang aja!". Saya pikir, binatang itu justru lebih religius daripada manusia. Kok bisa? Kamu pernah lihat nggak, kalo setiap binatang membunuh karena Tuhannya? Kamu pernah dengar kalo binatang menyebut binatang sesamanya--atau yang lainnya--, "Kamu kafir!"? Mereka membunuh binatang lainnya hanya karena urusan makan, sama seperti kita membunuh ayam, kambing, babi, anjing atau sapi. Itu hanya soal makanan. Itu hanya soal rantai makanan.

Saya menduga, bahwa binatang itu menyadari bahwa Tuhan mereka itu satu, Pencipta mereka itu adalah satu. Mereka tak pernah berpikir untuk menciptakan tuhan-tuhan yang lain. Entahlah, mungkin perbedaan ini diserbabkan oleh faktor akal budi. Kita tahu, bahwa Tuhan mencipta manusia dengan kelebihan itu selain binatang-binatang yang lain. Kitab Suci mengajarkan bahwa manusia diciptakan serupa dan segambar dengan Tuhan. Nah, karena kelebihan itulah banyak manusia yang justru ingin menyamai Tuhan. Kalau tidak, tidak mungkin Hawa dan adam terjebak oleh si syaitan untuk merasakan buah khuldi yang bisa membuat mereka sama seperti Tuhan.

Kita memang diciptakan serupa dan segambar denga Tuhan, namun kita bukanlah Tuhan. Bayangan kita pada cermin serupa dan segambar dengan kita, tapi bayangan kita bukanlah kita. Mereka tetaplah bayangan. Dan pemberontakan manusia di Taman Eden--"Tragedi Taman Eden"--bagi saya adalah dekadensi dari mahluk dengan citra tertinggi dari para mahluk lainnya.

Para binatang tidak pernah membunuh atas nama Tuhan, namun manusia membunuh demi nama tuhan-tuhannya. Siapakah yang lebih religius? Para binatang tak beragama karena mereka memang tidak perlu agama sebab mereka tahu siapa Pencipta mereka, sedang manusia mencipta banyak agama karena 'kepintaran'-nya. Siapa yang lebih mengenal Tuhannya? Binatang tidak pernah terlihat melakukan ritus-ritus agama, tapi mereka memahami keberagamaan itu sendiri (saya yakin akan hal itu), sedang manusia pada hari Jumat pergi ke mesjid atau Minggu ke gereja, berpuasa, memasang dupa, tetapiu selain hari itu mereka berjudi, berzinah, membunuh. Siapakah yang lebih menghayati apa yang kita sebut dengan ibadah?

Aku bukan seorang ateis. Aku pun beragama. Namun aku pikir keberagamaan itu bukan sekadar untuk sebagai pelengkap di KTP kita. Lebih dari itu adalah untuk menyadari tentang eksistensi Tuhan kita. Dan aku berpikir bahwa mereka yang membunuh atas nama Tuhannya, bukanlah orang yang sungguh-sungguh membela Tuhannya. Bukankah Tuhan tidak perlu dibela? Mereka sebenarnya hanya mengedepankan ego mereka. Pun jika mereka adalah orang-orang yang lugu, mereka hanya membela agama, bukan Tuhan itu sendiri.

Jika manusia tidaklah lebih dungu dari binatang, berlakulah sebagai seorang manusia!

Saturday, July 20, 2002

TRAGEDI DAN KESENDIRIAN


Banyak para penyair yang dilahirkan dari tragedi. Begitu pula dengan filosof, banyak juga yang dilahirkan dari kesendirian.

Apakah yang terjadi bila tragedi dan kesendirian berkolase? Akankah lahir para penyair dengan nafas seorang filosof atau seorang filosof dengan dentam penyair pada jantungnya?

Aku menemukan kesamaan dalam tragedi dan kesendirian: sama-sama tragik, sama-sama soliter, sama-sama melahirkan keradikalan--terlalu-kiri, terlalu-kanan, terlalu-atas, terlalu-bawah, terlalu-tengah, terlalu-hitam, terlalu-putih, terlalu-abu-abu, terlalu-naif, terlalu-munafik--, sama-sama memproduksi ultra-kesadaran dan hiper-sensitivitas yang melampaui mereka yang menyebutnya dirinya sebagai manusia-normal.


"Tragikku adalah tragik dari sebelum tragik--tragik rangkap dua ..."
(dikutip dari novel Merahnya Merah, karya Iwan Simatupang)



TRAGEDY AND SOLITARY


Many poets were born from tragedy. An so the philosophers, many of them were born from solitary.

What if the tragedy and solitary collides? Is it possible to give birth to poets with breath of philosopher or the philosopher with beat of poet in his heart?

I have found similiarity between tradgedy and solitary: they both tragically, they both solitaire, both give birth to radicality--too-left, too-right, too-high, too-down, middle, too-black, too-white, too-grey, too-naive, too-hypocrite--, both produce ultra-conscience and hyper-sensitivity than they who called themselves normal-humanbeings.


"My tragic is tragic from before tragic itself--double tragic ..."
(quoted from novel Merahnya Merah, by Iwan Simatupang)

SEDANG BOSAN .....


Aku sedang bosan menjalani kehidupanku saat-saat ini. Aku seharusnya ngerjain skripsi, eh aku malah ngerjain web log--buku harian on line-ku ini. Aku sedang jenuh. Bahkan aku nggak bisa berpikir. Ah, semoga badut cepat berlalu ......

+ Kok badut? Bukannya badai?

Iya. Badut ..... Badai dari bawah perut ....... alias duuuttt ...... Kamu ngerti kan maksudku? Salah satu penyebab kejenuhanku salah satunya juga adalah badai dari bawah perutku ini. Aku lagi masuk angin, tahu?


ELI, ELI, LAMA SABAKHTANI?


Eli, Eli! Lama sabakhtani?
Allahku, Allahku! Adakah Engkau masih hidup?
Allahku, Allahku! Mengapa Kautinggalkan aku?
Aku tanpaMu adalah Simson tanpa rambutnya
Aku tanpaMu adalah Musa tanpa tongkatnya

Eli, Eli! Lama sabakhtani?
Allahku, Allahku! Jangan Engkau tinggalkan aku!
Aku tanpaMu adalah tak sejati
Aku tanpaMu hanyalah manusia mati yang berjalan

Eli, Eli, lama sabakhtani?
Mengapa Engkau tinggalkan aku?

INI HARI, HARI PELARIANKU


Ini hari, hari pelarianku
dari segala hal kemuakan yang kutemui di muka bumi
di mukamu
di muka yang tak bermuka

Ini hari, hari pelarianku
berusaha untuk mewujudkan aku yang sejati
aku yang adalah aku sendiri
tak bertuan, tak beraja
kecuali aku sendiri


THIS DAY, IS DAY OF MY RUNAWAY


This day, is a day of my runaway
from all the sickness i have face in the face of earth
in the face of thee
in the face of faceless

This day is a day of my runaway
day when i try to personalify my true-me
I that I-my-self
with no master, no king
beside me myself