Monday, May 26, 2003

cinta telah menabur bisa dalam pelosok aortaku
dan menghunjamkan buluhnya pada sekatsekat jantungku
: perih,
tapi bernilai

dan cinta juga yang telah membunuhku
dalam dekapannya yang beku seperti malam
dalam keriuhan bintangbintang dan katakata
menorehkan lagulagu perih tentang kesetiaan
dan aroma cuka dari kecupan yang memabukkan

cinta memang tak berarti tanpa pengorbanan
pun juga tak berarti tanpa kita mau menerima

biarlah cinta berkata pada hati masingmasing kita
dan mengalirkan bahagianya
sehingga kita bisa mengerti
bahwa cinta tak mesti tentang "wajahmu seperti bulan"
atau "kan kuseberangi lautan"
tapi juga berarti kertepagutan dalam kesunyian
menangisi harihari sepi
seperti seorang sufi
yang rindu tuhannya

dan biarlah cinta kelak
menjadi nisan bagiku
di hati para kekasih jiwaku

ps: aku letih dan ingin menyendiri dalam keheningan diriku sendiri. biar malam yang membungkusku, pun bila itu berarti membungkus nyawaku juga.

jatinangor, 27 mei 2003

Sunday, May 25, 2003

SAJAK DI PENGHUJUNG LENTE
-- jane lopulalan


kukecup engkau, malam
saat kau dalam dekap sayapku
dan kurebahkan tubuhmu yang harum
seperti sejuta bunga di taman keukenhof itu
di atas pembaringanmu,
mengantar lelapmu memetik bayangan
dengan lagu lullaby
(diselisik rambutmu, kuhirup aroma
cinta yang semerbak di sana)

tanamlah kerinduanmu akan zomer yang cerlang
sementara aku disini, nun di seberang lautan,
menyanyikan cinta yang akan kembali sunyi
selaras dengan musim semi yang berlalu

menyanyilah tentang cinta juga untukku, malam
di sela dengkurmu yang selembut bayi
biar aku tak merasa sia
saat menulis sajak ini dengan airmataku sendiri

kulantukan kidung surga
menghantar bidadariku menari bagai balerina
sambil menatapmu dari sini
dengan setumpuk rindu yang terkekang
: seperti rindu boneka prajurit berkaki satu
dalam dongeng masa kecil kita

kubisikkan cinta sebagai nyanyian pengantar tidurmu
dan kusematkan bunga tidur yang tak layu
dilantun jingkat langkah kecilmu

mimpikanlah aku
di seulas bibirmu yang tersenyum
sebab aku pun kerap mengimpikanmu

dengan sepenuh rasa
dengan sepenuh jiwa
dengan sepenuh cinta

jatinangor, 26 mei 2003

(terimakasih untuk setiap inspirasi dalam setiap percakapan kita)

catatan:
lente (bhs Belanda): musim semi
taman kekenhof berada di Lisse (Belanda), biasanya buka pada 22 Maret sampai 24 Mei , dari pukul 08.00 sampai 19.30
zomer (bhs Belanda): musim panas
(catatan mengutip cerpen Yang Liu van Keukenhof karya Veven Sp Wardhana)

Thursday, May 22, 2003

TELAGA YANG TEDUH
cerpen Firdaus Siagian


Seorang anak kecil bermanja-manja di pangkuanku. Dilesakkannya kepalanya yang mungil di dadaku yang hanyalah sekedar rangka bertutup kulit semata. Rambutnya yang berwarna kemerahan dan berbau gasang matahari membangkitkan suatu perasaan tertentu dalam hatiku, entah apa itu, namun yang aku tahu bahwa perasaan itu bersaksi pada diriku sendiri bahwa aku memang mencintainya. Aku selalu merindukan untuk menghirup bau kepalanya setiap kali ia duduk di pangkuanku.

Sesekali dimainkan matanya yang bulat jernih menatap mataku di sela-sela lesakkan kepalanya. Menatapku sejenak, lalu tertawa gembira sambil memejamkan matanya, yang sungguh indah seperti mata seorang ksatria, dan memeletkan lidahnya. Aku bersumpah, bahwa suatu saat nanti ia akan tumbuh sebagai seorang lelaki sejati, dan bahagialah orang yang memilikinya.

Aku selalu tertegun melihat sinar matanya. Aku kagum. Kedewasaan ada di sana. Selalu. Di tengah-tengah telaga yang teduh yang menghampar tenang. Kepolosan, keceriaan, selalu memancar dari dasar matanya yang bening.

"Pak, apa miskin itu? Mengapa kita disebut miskin, Pak?" tanyanya tiba-tiba. Suatu pertanyaan yang pernah kuduga akan keluar dari mulut seorang bocah polos seperti dia pada usianya yang baru lima tahun. Pertanyaan itu menggema ke seluruh dinding bilik bambu rumah kami yang somplak, lalu menggaung ke gendang telingaku menendang-nendang tak keruan. Suaranya yang tanpa beban membuat telingaku seperti menggelegar, lalu turun ke dadaku dan menoreh perih di sana.

Tiba-tiba dadaku terasa sakit. Sangat nyeri, sebelum aku sempat menjawab pertanyaan itu dengan segunduk penjelasan yang belum sempat kubuat.

Sejurus kemudian aku batuk. Lendir hijau bercampur merah darah muncrat dari mulutku. Pandanganku pening.

Aku coba bertahan agar dapat kujawab sejenak pertanyaan bocah itu. Namun aku tak kuat menahan tubuhku untuk rubuh. Dan semuanya hitam.

Dalam gelap yang menyelimutiku, aku dapat melihat ada sebuah telaga tenang di hadapanku, memancarkan keheningan yang teduh. Sebuah telaga yang haus. Dan aku tak sempat menuntaskan dahaga yang diharapkannya dapat dipuaskan olehku. Aku telah terlanjur beku, aku tahu itu.

Maafkan aku, anakku.


Jatinangor, 22 Mei 2003


Wednesday, May 21, 2003

hanya ingin sekedar menulis tentang cinta


cinta yang paing besar adalah cinta kepada ilahi

selanjutnya adalah kepada insan

selanjutnya adalah..., biarlah cinta yang mengatakan


jatinangor, 21 mei 2003

Tuesday, May 20, 2003

MUNGKIN AKU MEMANG JATUH CINTA


Aku mungkin memang jatuh cinta. Jatuh cinta pada seorang gadis yang tak pernah kutemui. Seorang gadis yang tak pernah kupandang mata dengan mata secara sempurna. Tetapi aku merasakan getarannya. Tapi entahlah. Aku takut. Aku takut untuk mengetahui bahwa aku mencintainya. Dan terlalu takut bila ternyata cinta itu adalah cinta yang tak sempurna. Aku takut. Aku terlalu takut.

Pernah aku berdoa untuk seseorang yang mau menerimaku apa adanya. Pernah juga aku menangisi seseorang yang akan menjadi kekasihku. Seseorang yang akan menjadi sahabat sejati dalam keadaan apapun, keadaan sedih, sulit, bahagia, tertawa, menangis. Sahabat tempat aku akan menggenggam tangannya erat berjalan di bibir pantai dengan semilir angin yang menerbangkan angan kami tinggi seperti rambut mahadewi yang tergerai dalam buaiannya yang lembut. Ah..., mungkin aku terlalu mengangankan seorang kekasih yang sejati, yang sempurna, sesempurna Tuhan dalam wujud seorang manusia. Mungkin aku memang seorang pemimpi.

Tapi aku tak bisa menafikannya. Aku mencintainya.

Ah, cinta. Darimana aku dapat mengatakan bahwa aku mencintainya? Bukankah percakapan kami hanyalah percakapan beberapa menit saja? Bukankah pertemuan kami adalah pertemuan di alam maya? Dan kata-kata..., ah..., kata-kata..., apalah kata-kata?

Namun dapatkah aku menghindari perasaan ini?

Saat tak bercinta, wahai, betapa pandainya aku berkata-kata tentang cinta. Saat aku tertimpa panahnya, duhai, betapa aku seperti seekor unta dungu di tengah padang pasir: menjadi pandir pada alam hakikatnya.

Mungkin yang terbaik yang dapat kukatakan saat ini adalah, biarlah cinta berjalan apa adanya. Yang terjadi, terjadilah. Bukan hanya kehendakku semata.

:::...amor vincit omnia...:::

Sunday, May 18, 2003

tuhanku tidak mati


nietzsche bersabda: tuhan telah mati!, aku tak percaya
kubuka kitabsuci, kucari tuhan
memang, dia ternyata terlipatlipat dalam halaman kitabsuci yang kudus
utuh, tak tersentuh. layu
diantara halamanhalaman yang masih bersih dan rapi

nietzsche terus berkhotbah di telingaku: tuhan telah mati!, aku sempat malu
kugali tuhan dari kuburnya, kubangkitkan
alakazam, abrakadabra, homwilaheng..!!
ajaib! ia hidup kembali
kutertawakan nietzsche, kuejek: hei tolol! tuhan masih ada!
aku terkekeh, kutunjukkan jaritengah pada nietzsche
lalu kucium tuhanku dengan mesra
kusembah dia dengan doadoa
madah pujian syukur, sembahyang kusyu
aku peluk eraterat, kubangun altar untuknya
tuhanku belum mati, kataku sambil memantatkan potret nietzsche
yang berjubah santa

aku bawa doa, aku bayar kurban
tiap pagi tiap siang tiap malam aku tersenyum pada tuhan
tuhanku belum mati, kuberaki nietzsche di altar persembahan

tapi tuhanku diam tak bergerak
tak kudapati ia seperti saat menjumpai musa
tak kutemui ia seperti saat memujimuji daud
tuhanku diam. mati dalam sembahyangku yang tulus

aku hilang akal
dia masih diam

kucaci dia
dia masih diam

kucekik, kutendang, kulempar gelas anggur
tak bergeming

kubanting tuhanku berkepingkeping
nietzsche menangis
kukabarkan pada dunia: tuhan memang tak pernah hidup!
nietzsche tersedusedu


jatinangor, avril, 26, 2003

catatan makan (ke)malam(an)




[sebatang samsu kunyalakan]

sebatang samsu kunyalakan
sebagai dupa sembahyang
bagi jiwa yang mati tenang

angin dataran bawah laut
menghunjamkan rasa tak tersebut
tentang perasaan yang larut
dalam dada di atas perut

maut... ah maut....

mari.. kemarilah wahai izrail
berdansalah bersamaku
menari kita lantun bergilir
di atas tulangtulang layu



[malam]

duhai,
pelacur malam nyalakan gairahku seperti api
membakar birahi liar
sejati
tak mati

duhai,
pelacur malam setubuhi aku di bawah rembulan suram
mengerang kita seperti mesin perang
diantara dentamdentam keroncongan
anakanak jalanan

wahai,
peluh kita adalah anggur merah intisari
diantara denting lagu dangdut ernasari
kita bersetubuh menari menyanyi perih
: melati... melati...
harum dan mewangi...



[catatan]

malam aku pergi makan di warung indomie berbilik bambu ditemani welcome to the jungle-nya guns and roses yang melenting bersama iklan meteor garden di layar tivi. kataku, "bagus," sambil menghentak-hentakkan kakiku di atas lantai semen yang pecah-pecah.

pergi aku ke warnet setelah makan, aku lihat bencong-bencong kampung yang hitam-hitam legit mencari pelanggan di antara supir-supir truk yang berdiang kemalaman. di seberang, aku lihat anak-anak muda yang tanggung umur bergadang sambil nyanyi lagu "begadang jangan begadang" punya rhoma irama sambil jogat-joget geol pantat berusaha sebaik mungkin meniru inul. kataku, "bagus," sambil aku berlaru merapatkan jaket dan mengawaskan mata (sungguh, aku paling takut dengan bencong...)

di warnet aku ingin menulis sajak di chatroom, tapi para chatters sedang riang bercanda mencipratkan kata-kata ke baju kawannya. tak sepantasnya aku menghancurkan keriangan ini dengan sajakku yang kampungan. aku ingin bercanda, larut, hingga siang. aku lupa pada sajak. aku lupa pada bencong. aku hanya ingin ke atm mengambil uang untuk sarapan sebelum aku kembali ke rumah, mencium kasur kapukku yang apek, dekil dan keras.

mengantri panjang di atm bermandi keringat sisa tadi malam. tiba giliranku, ternyata saldoku kosong melompong. pulang aku dengan menyesal, mengapa aku terbujuk menyetubuhi maya di dunianya hingga siang.


jatinangor, limabelas mei duaributiga

Saturday, May 10, 2003

HARI YANG MELETIHKAN
Firdaus Siagian


Malam, aku merasa semakin letih saja. Tulang-tulangku serasa remuk, semakin membungkukkan tubuhku yang memang agak bungkuk ini. Dan kebungkukanku sekarang telah menjadi kebungkukan pangkat dua.

Kebungkukan pangkat dua, Malam. Kebungkukan pangkat dua, sama sialnya seperti tragik pangkat dua1) yang disebut Iwan Simatupang. Masihkah terngiang di telingamu kata-kata itu, kata-kata yang tujuh tahun lampau pernah kita serap bersama? Kata-kata yang membuat kita tertegun lalu menertawakan kesialan sebuah eksistensi di puncak tanjakan kampus paling timur di kota ini.

Tujuh tahun itu berlalu tanpa terasa. Melangkah bersama angin yang menghembuskan daun waktu menuju hampar keabadian yang entah. Apakah kita juga akan menuju keabadian, Malam? Apakah di sana juga akan ada perih dan letih yang sama seperti yang kita alami di tanah ini?

Bila memang, salahkah bila aku tak membenci keabadian?

Lagipula, sebenarnya, bersamamu aku telah merasakan apa itu arti keabadian. Hening, gelap, dan desir angin yang meruak sepi. Itulah keabadian yang kusuka, yang kutemukan dalam dirimu.

*****

Malam, aku merasa begitu letih, tulang-tulangku serasa remuk dan membuatku kian membungkuk.
Sempat terpikir olehku, bahwa nasibku dan kota ini sama sekali tidak berbeda, Malam. Begitu sama, dalam lain rupa. Kami sama-sama rapuh dalam kemudaan kami. Sama-sama merasa renta dalam masa sempurna kami.

Kami sama-sama mengalami pengasingan yang sama, didera oleh tangan-tangan asing yang merangsek menyetubuhi kami. Tidak hanya tubuh, tapi juga jiwa kami.

Saat kami melangkah, kami melangkah tanpa jiwa. Dalam tegap langkah kami menantang hari, apa yang ada dalam kami hanyalah kehampaan belaka.

Kami didorong untuk melakukan apa yang bukan kehendak kami, sesuatu yang kami tidak ketahui, sesuatu yang kami tidak pahami, sebagaimana boneka voodoo di tangan seorang dukun.

Kami ini seperti zombie, Malam. Tanpa jiwa. Walau berjalan tegap dengan langkah besar-besar, nyatanya kami adalah kekerdilan yang tak berani untuk bersikap tegak lurus dengan langit.2)

Hingga suatu hari, kami sepakat untuk membebaskan diri dari segala keterbelengguan ini. Kami menyadari bahwa takdir kami, eksistensi dan sejarah kami ditentukan oleh tangan kami sendiri, bukan oleh pihak-pihak di luar kami, bahkan Tuhan sekalipun. Dan siang tadi, aku maklumatkan keputusan kami di tengah keramaian kota.

Kau tahu apa yang selanjutnya terjadi? Mereka semua malah marah dan mengamuk.

"Atheis!"

"Penghujat!

"Kafir!"

"Subversif!"

Mereka tak mengerti. Mereka tak menangkap maksudku. Lalu kuperjelas kata-kataku sekali lagi pada mereka.

"Saudara-saudara, dengarlah! Aku pun tak berbeda dengan kalian. Aku percaya bahwa Tuhan itu ada, bahwa Ia adalah Maha Kuasa, Sang Pencipta dan Yang Berdaulat. Bahwa Ia berkuasa penuh untuk menentukan waktu lahir dan waktu mati seseorang tanpa dapat diganggu gugat oleh siapapun dan berhak penuh untuk merahasiakannya dari siapapun.

Namun aku tidak percaya bahwa Ia telah menggariskan seluruh kehidupan seseorang, bahwa si A akan menjadi orang kaya, si B akan menjadi si miskin abadi, C adalah penjahat, D pelacur, dan seterusnya, dan seterusnya.

Bagiku, ada secarik kertas dalam serentang jarak antara lahir dan mati seseorang yang dibebaskan-Nya untuk ditulisi oleh manusia itu sendiri dengan coretan macam apapun, entahkah itu dengan kebaikan atau kejahatan, entahkah itu suci atau profan. Bahkan untuk menjadi penghujat-Nya sekalipun, kita dibebaskan. Lagipula akan ada waktunya untuk menghakimi setiap mahluk mempertanggungjawabkan apa yang telah ditulisnya dalam bentang hidupnya itu.

Bila memang Tuhan telah menggariskan seluruh hidup kita, lalu buat apa Ia memberi kita otak? Bukankah itu berarti justru Ia sendiri yang mengingini kita untuk memutuskan nasib sendiri?"

Kerumunan itu semakin panas dengan gemuruh didihan amarah.

"Dasar, atheis taik!"

"Penghujat! Sesat!"

"Kafir lu!"

"Provokator! Bangsat!"

"Subversif! Komunis! Pe-ka-i!

"Tangkap!"

"Bunuh saja, cincang, berikan pada Sumanto!"

Suasana makin ricuh. Kerumunan itu semakin kacau.

Beberapa petugas yang bertugas untuk mengawasi dan mengamankan keadaan, sebagian berbaju cokelat tua dan sebagian lagi berseragam loreng, datang menghampiri aku. Salah seorang dari mereka memukul tengkukku dengan pentungan karet. Saat aku terhuyung, yang lain menendang perutku. Yang lain memukulku dengan popor senapan yang berkarat.

Dalam keadaan limbung dan nanar, aku dihentak paksa untuk berdiri, didorong berjalan melalui kerumunan yang kian ganas seperti kerasukan setan. Ada yang berteriak-teriak histeris, ada yang menggamparku dengan sendal jepit. Ada yang menghantam wajahku entah dengan benda apa, yang jelas aku merasakan ada sesuatu yang mengucur dari hidungku. Pandanganku menjadi kian redup dan perih.

Ketika aku berjalan di tengah-tengah mereka, aku merasa seperti Yesus yang membelah kerumunan orang Yahudi saat digiring oleh para tentara Roma menuju Bukit Golgota.

Tapi aku bukanlah Yesus, dan bukan siapapun. Aku tetaplah aku dengan segala yang ada dalam diriku, baik itu kelebihan maupun kekuranganku. Aku tetaplah aku yang tidak diciptakan serupa dengan siapapun, bahkan dalam hal seraut keriput di telapak kaki sekalipun. Aku tak hendak disamakan oleh siapapun atau berusaha menjadi epigon bagi siapapun.

Aku digiring ke kantor polisi dan diempaskan ke dalam sebuah sel, dilempar begitu saja seolah-olah mereka sedang membuang bangkai tikus yang menjijikan.

Di sel itulah aku memahami arti mempertahankan sebuah eksistensi sebagai manusia yang bebas menentukan hidupnya sendiri. Darah yang menetes dari pelipis, hidung dan mulutku, bengkak di sekujur tubuhku, serta koyak pada baju dan celanaku, menyadarkanku bahwa selalu ada harga yang harus dibayar dalam suatu perjuangan.

Walau sendirian dalam ruang pengap itu, aku tak merasa sendiri. Kudengar bisikan dinding yang memijat belakangku saat aku menyenderkan tubuh di atasnya, "Wahai, dengarlah, Jatinangor menangis."

Betapa ia tidak menangis? Lihatlah, tubuhnya semakin dijejali oleh tiang-tiang pancang. Semakin banyak manusia-manusia asing yang menggagahinya dengan langkah-langkah asing, sampah-sampah asing, gaya hidup asing dan nafsu-nafsu asing. Kota itu semakin diasingkan oleh tangan-tangan asing sehingga ia merasa terasing dari dirinya sendiri, tanpa selangkahpun ia dapat melawan untuk menentukan sejarahnya sendiri.

Kau dengarkah erangnya, Malam, saat pemondokan-pemondokan merebak seperti jamur ketika hujan, saat tawa muda yang renyah menggema, saat banyak hotel, toko dan gedung-gedung lainnya ditegakkan, kota kecil tersayang itu sedu sedan menangisi dirinya yang terus dipaksa untuk melacur?

*****

Saat gugur matahari tadi sore, sehelai daun kering jatuh di atas lukaku yang belum pulih benar. Entahkah ia datang sebagai suatu peneguhan atau justru sebagai penghinaan atas segala kejadian yang kualami hari ini, aku tak tahu. Dan aku tak ambil peduli.

Bagiku tak ada batas jelas antara peneguhan dan penghinaan. Garis yang memisahkannya begitu nisbi. Abstrak. Perbedaannya tergantung dari sudut mana aku melihatnya, dan untuk kepentingan mana aku hendak mengambilnya.

Bisa jadi daun itu datang dengan kedua maksud itu. Dan aku memilih untuk mencerap kedua-duanya.

Daun itu tampak seperti jiwa yang rapuh dalam keringnya keterasingan. Terlepas, melayang seturut kehendak angin yang membawanya, lalu jatuh tanpa dapat berkuasa menentukan titik jatuhnya sendiri. Pasrah.

Mungkin ia diluruhkan karena pemberontakan. Diasingkan agar tak mengusik kestabilan. Atau bisa jadi ia telah ditetak paksa dari cabangnya. Lalu ia mengering, itu sudah pasti, sebab tak ada sehelai daun pun yang dapat tetap hijau tanpa menyarangkan dirinya pada sebuah pohon, bukan? Atau memang telah hakikatnya daun itu jatuh karena tua, demi memberi ruang baru untuk generasi selanjutnya.

Banyak kemungkinan yang dapat dipikirkan, Malam. Tapi satu hal, daun itu telah menjadi Yang Terlupakan.

Ia rebah di lukaku. Mungkin ia merasa bahwa aku adalah teman sejiwa. Atau memang Tuhan telah mengirimnya kepadaku untuk menyampaikan suatu wahyu, melalui kering dan segala retak di tubuhnya.

*****

Malam, aku merasa begitu letih dan tulang-tulangku serasa semakin remuk. Rasa-rasanya aku kian menjadi bungkuk.

Ingin rasanya aku merebahkan kepala di rentang dadamu seperti seorang bayi dalam dekap ibu dan membiarkan kau menghangatkan tubuhku dalam pelukmu. Aku ingin mendengar kau menyanyikan nina-bobo bagiku, lalu lelap dan meletakkan letih barang sejenak.

Selepas isya, seorang dokter datang untuk memeriksaku. "Dokter jiwa," kata petugas jaga dengan senyum melecehkan.

Ternyata dokter itu datang tidak hanya sekedar untuk memeriksa jiwaku. Ia juga membersihkan lukaku, membalurnya dengan semacam serbuk putih yang membuat sendi-sendiku terasa perih, lalu menutupnya dengan perban.

Dokter itu sangat cantik, dan memiliki senyum yang ramah. Hanya saja binar matanya kosong hampa.

Apakah jiwanya juga demikian? Sebab aku seringkali mendengar ungkapan bahwa mata adalah pancaran jiwa. Benarkah demikian, Malam?

Dua jam setelah dokter itu pergi, aku dipanggil menghadap komandan polisi.

Ternyata tak ada satu pun hal istimewa yang terjadi yang dapat disepadankan dengan detak jantungku yang berdentam-dentam seperti dinding karang yang dipukul-pukul oleh ombak pasang. Sesuatu yang tidak begitu menggairahkan.

"Berdasarkan pemeriksaan dokter dan catatan-catatan mengenai dirimu yang kami dapatkan dari kampusmu, maka kau dibebaskan bersyarat dari segala tuduhan, Nak." Komandan itu berusaha untuk terlihat arif.

"Kalau boleh tahu, apa alasan pembebasan saya, Pak?"

"Pertama, berdasarkan catatan yang kami dapat dari kampus, kau adalah mahasiswa tingkat akhir sekali yang belum menyelesaikan kuliah. Bila kau ditahan, bisa dipastikan kau tidak akan pernah menjelma menjadi seorang sarjana."

Komandan itu mencoba untuk bersikap ramah. Tetapi di mataku, ia terlihat seperti biawak yang menyeringai.

"Yang kedua," terusnya, "menurut dokter tadi, kau agak sedikit mengalami gangguan psikis, mungkin disebabkan karena kau mengalami banyak tekanan berat, sehingga kau meracau tadi siang. Mungkin kau ketakutan karena hampir di-DO, ya?

Sialan. Apa urusannya sehingga ia berani mengungkit masalah pribadiku? Entah kali ini komandan itu berusaha untuk bersikap arif, ramah, sok perhatian, mengejek atau berusaha untuk membangkitkan amarahku, tapi aku sungguh-sungguh tak tertarik untuk menanggapinya. Bahkan aku terlalu mual untuk menatap wajahnya yang menyebalkan itu.

Aku tidak mengalami ekstase ketika mendengar kebebasanku atau terkesan dengan kemurahan hati dokter tadi, yang sepertinya bersimpati terhadap nasibku hari itu. Memang sudah seharusnya aku berterimakasih karena diagnosanya telah meluputkanku dari jerat pengekangan dan keterasingan yang baru. Tapi aku tak sempat untuk memikirkan perkara semacam itu. Apa yang ada di kepalaku hanyalah keinginan untuk segera keluar dari ruang yang memuakkan itu. Secepatnya.

Aku kembali ke sel untuk mempersiapkan kebebasanku. Sebenarnya tak ada satupun hal yang perlu dibenahi di sana, toh aku hanya beberapa jam saja mendekam di sel itu. Lagipula aku tak sempat membawa barang atau buntalan apapun saat aku ditangkap.

Aku memutuskan untuk kembali ke sel itu hanya sekedar ingin menghirup baunya sebagai kenang-kenangan, dan mengambil daun kering yang sempat kutinggalkan tergeletak begitu saja di lantai semen yang dingin saat aku menghadap komandan sialan tadi. Siapa tahu, daun itu ternyata memang benar-benar utusan Tuhan untukku, dan aku tak ingin menyia-nyiakannya.

*****

Malam, aku merasa letih sekali dan tulang-tulangku sepertinya kian remuk.
Aku senang dapat memandangmu dengan leluasa di hampar terbuka tanpa dibatasi oleh jendela dan jeruji. Aku begitu gembira saat merasai anginmu menyentuhku, membasuh penatku dengan seksama.

Hantarkanlah aku pulang hingga depan kamarku, Malam.

*****

Saat puncak malam, seorang lelaki muda berpakaian koyak-koyak dengan luka dan lebam disekujur tubuhnya berjingkat-jingkat menuju kamarnya di sebuah pemondokan yang tampak lengang.

Dibukanya pintu kamar pelan-pelan agar tak mengusik istirahat penghuni lain. Setelah berada di dalam kamar, ditutupnya kembali pintu itu dengan hati-hati, lalu menuju meja belajar, duduk, mengambil secarik kertas dan pensil.
Lelaki itu menulis sajak.

Dari kamar sebelah, terdengar lenguhan sepasang manusia muda, laki-laki dan perempuan, yang sedang menghitung peluh persenggamaan mereka.

Ah, sungguh, kota kecil ini semakin merasa letih dan bungkuk saja.


Keterangan
1) tragik pangkat dua, dikutip dari ucapan Tokoh Kita dalam novel Merahnya Merah karya Iwan Simatupang
2) tegak lurus dengan langit, salah satu ungkapan khas Iwan Simatupang


ps: cerpen ini pernah dilombakan dalam rangka ulang tahun tabloid dJatinangor, dan menjadi cerpen pilihan.

Wednesday, May 07, 2003

Cerita Hari Minggu
cerpen Saut Situmorang


Hari Minggu pagi. Tak ada mendung di langit, matahari bulat penuh
kemerah-merahan seperti telor matasapi tergantung di ranting pohon
jambu di depan rumah. Tiga ekor burung kutilang ribut di pucuk
ranting jambu yang tinggi, sementara di bawahnya di tanah ayam-ayam
kampung berebutan makan jagung. Terdengar suara anak menangis dari
dalam rumah.

"Pagi yang indah," kata Pak Pendeta sambil meminum kopi yang masih
mengepulkan asap di atas meja. Dia baru saja bangun. Cuci muka dulu,
lalu dia duduk menghadapai kopi panasnya. Sudah jadi kebiasaannya
begitu. Bangun pagi, cuci muka, lalu minum kopi. Tanpa baju, hanya
pakai sarung. Sudah jadi kebiasaan istrinya pula untuk bangun pagi,
cuci muka, masak air, dan membuat kopi untuk dia, suaminya. Tentu
saja dia pakai baju dan sarung.

"Pagi yang indah," kata Pak Pendeta sambil meminum kopi yang masih
mengepulkan asap di atas meja, di depannya. Suara tangisan anak tadi
masih terus terdengar. Berasal dari kamar mandi di belakang rumah.
Kadang-kadang terdengar juga suara perempuan, istri Pak Pendeta,
sedang membujuk-bujuk anak yang menangis itu. Pak Pendeta baru tiga
tahun kawin. Punya anak satu, laki-laki. Dan di rumah ini tidak ada
orang lain yang tinggal bersama mereka kecuali mereka bertiga saja.
Itulah sebabnya suara anak yang menangis di kamar mandi itu adalah
suara anaknya dan yang sedang membujuk-bujuk anaknya yang menangis di
kamar mandi itu adalah istrinya yang baru tiga tahun dikawininya.

"Pagi yang indah," kata Pak Pendeta sambil meletakkan gelas kopinya
yang sudah kosong ke meja di depannya. Meja itu terbuat dari kayu
jati dan diberi taplak Ulos Batak. Sekarang matahari sudah agak
tinggi dan anaknya sudah selesai mandi dan Pak Pendeta bangkit dan
pergi ke kamar mandi. Seekor lalat terbang mengitari permukaan gelas
kopi yang sudah kosong itu, hanya di dasarnya nampak sisa kopi, dan
terus terbang mengitarinya selama beberapa detik sebelum akhirnya
hinggap di tepi mulut gelas kopi yang sudah kosong di atas meja kayu
jati bertaplak Ulos Batak itu.

Di kamar istri Pak Pendeta sedang sibuk membantu anaknya berpakaian.
Mereka hendak ke gereja dan mereka masih punya banyak waktu untuk
berpakaian. Dia sendiri belum mandi, hanya cuci muka dulu lalu masak
air dan membuat kopi untuk suaminya, Pak Pendeta. Sudah jadi
kebiasaannya juga, dia baru mandi setelah anak laki-lakinya yang
menangis di kamar mandi tadi dan suaminya selesai mandi. Sekarang
dia, istri Pak Pendeta, sedang sibuk membantu anaknya berpakaian di
kamar anaknya itu.

Pak Pendeta sudah selesai mandi. Wajahnya berseri-seri, rambutnya
agak basah, dan dia cuma memakai sarung saja keluar dari kamar mandi.
Dia melihat pada gelas kopi kosong yang ada lalat merayapi dalamnya
untuk minum sisa kopi di dasar gelas di atas meja kayu jati bertaplak
Ulos Batak itu. Dia tersenyum. Pagi yang indah, gumamnya sambil masuk
ke kamarnya. Hari ini adalah hari pertamanya memberikan kotbah
setelah kepindahannya ke kota ini.

Giliran istrinya mandi sekarang. Anak laki-lakinya sudah selesai
berpakaian dan tidak menangis lagi. Dia duduk di ruang tamu menunggu
orangtuanya siap berangkat ke gereja.

Tak berapa lama kemudian mereka bertiga sudah berada dalam mobil. Pak
Pendeta mengenakan pakaian barunya yang tadi malam disetrika rapi
oleh istrinya. Sepatunya tersemir mengkilat. Rambutnya yang dipangkas
pendek tersisir rapi ke samping. Dia nampak gagah. Dia tersenyum.
Hari ini adalah hari pertamanya memberikan kotbah setelah
kepindahannya ke kota ini. Istrinya juga berpakaian rapi. Wajahnya
juga berseri-seri. Dia nampak jauh lebih muda dan sangat cantik. Anak
laki-laki mereka merasa bangga sekali melihat kedua orangtuanya itu.

Pak Pendeta merasa beruntung sekali karena gereja barunya tempat dia
sekarang bekerja menyediakan satu mobil untuk dipakainya. Mobil itu
tidak baru, tapi karena dirawat baik oleh pemakai sebelumnya, yaitu
pendeta lama yang digantikannya, jadi nampak seperti baru dibeli
saja. Memang mobil itu sebenarnya baru dibeli oleh gereja untuk
dipakai pendeta lama tadi. Jadi bisa dibilang mobil itu mobil baru
juga. Pak Pendeta merasa beruntung sekali karena gereja barunya
tempat dia sekarang bekerja menyediakan satu mobil untuk dipakainya
jadi dia tak perlu repot-repot lagi memikirkan untuk membeli
kendaraan untuk dipakainya sehari-hari. Tentu saja dia tahu menyetir
mobil. Ayahnya almarhum adalah bekas pendeta dan sama seperti dia
sekarang juga disediakan mobil untuk dipakai sehari-hari oleh gereja
tempatnya bekerja. Waktu itulah dia belajar nyetir dan setelah bisa
nyetir dia sering menyupiri ayahnya ke tempatnya kerja. Mengingat itu
semua Pak Pendeta tersenyum lebar dan menoleh pada anak laki-lakinya.

Karena hari ini hari Minggu jalanan nampak lengang. Tidak banyak
kendaraan lalu lalang seperti waktu hari-hari kerja. Kayaknya orang
merasa malas keluar rumah dan memilih nonton tv saja di rumah bersama
keluarga. Mungkin juga karena berpikir kalau keluar rumah pasti
keluar uang maka lebih baik menghabiskan liburan sehari di rumah
saja. Tapi sudah beberapa kali Pak Pendeta melihat anak-anak muda ke
gereja. Mereka berjalan di trotoar jalan dan nampak kitab suci Injil
serta buku nyanyian di tangan mereka. Kebanyakan mereka anak-anak
yang masih sangat muda usianya. Pak Pendeta gembira sekali melihat
ini semua. Mulutnya terus menerus menyunggingkan senyuman lebar.
Wajahnya berseri-seri. Tiba-tiba dibayangkannya bagaimana nanti
meriahnya sambutan orang di gereja terhadap dirinya, pendeta baru
mereka. Mereka akan dengan tekun mendengar kotbahnya. Dan setelah
selesai acara kebaktian mereka akan datang menyalaminya sambil
mengucapkan selamat datang. Mungkin juga bakal ada semacam acara
selamat datang yang khusus untuknya. Bukankah dia juga mendapatkan
hal yang sama waktu keberangkatannya dulu dari gerejanya yang lama?
Pagi yang indah, gumamnya dan tersenyum-senyum. Di jalan nampak anak-
anak berusia sangat muda berjalan ke gereja dan nampak kitab suci
Injil serta buku nyanyian di tangan mereka. Pak Pendeta jadi ingin
cepat-cepat sampai ke gereja barunya. Dia sudah tak sabar untuk
melihat domba-dombanya. Dia sudah tak sabar untuk memberi makan domba-
dombanya…

Waktu itulah kecelakaan itu terjadi. Tiba-tiba seorang pengendara
sepeda motor muncul dari belakang dan menyalipnya. Untunglah dia
seorang pengemudi yang berpengalaman. Walaupun kaget setengah mati
dia masih dapat menguasai dirinya dan berhasil merem mobilnya walau
tetap saja mereka terdorong cukup keras ke depan. Istrinya menjerit
dan nampak pucat. Untunglah saat itu tidak ada kendaraan lain di
belakang mereka. Sulit dibayangkan apa yang bakal terjadi kalau ada
satu atau tiga kendaraan lain membuntuti mereka waktu dia merem
mobilnya dengan tiba-tiba tadi. Tapi sebentar kemudian perhatiannya
sudah beralih ke arah muka. Rupanya sepeda motor tadi mengalami
kecelakaan. Satu mobil sedan tiba-tiba muncul di persimpangan jalan
dan meskipun mobil itu berjalan pelan kecelakaan tak terhindarkan
lagi. Si pengendara sepeda motor terlempar dari sepeda motornya dan
terbanting dengan keras ke aspal jalan dan sepeda motornya sendiri
terseret sampai ke pinggir jalan. Mobil sedan yang tiba-tiba muncul
di persimpangan jalan tadi melarikan diri dengan kecepatan tinggi. Di
depannya sekarang di jalan berserakan kaca bercampur darah dan si
pengendara sepeda motor tergeletak tak bergerak dan sepeda motornya
hancur dan berlepotan darah. Istri Pak Pendeta pucat wajahnya. Anak
laki-laki mereka diam tak berani bertanya apa-apa. Di tengah jalan
berserakan kaca bercampur darah dan di tengah-tengah genangan darah
si pengendara sepeda motor tergeletak tak bergerak.

Suara klakson mobil di belakangnya menyadarkan Pak Pendeta dan mobil
mereka mulai bergerak pelan-pelan ke muka.

Hari Minggu pagi. Tak ada mendung di langit dan matahari bulat penuh
kemerah-merahan seperti telor matasapi tergantung di atas jalan dan
di tengah jalan berserakan kaca bercampur darah dan di tengah-tengah
genangan darah si pengendara sepeda motor tergeletak tak bergerak. Di
trotoar jalan nampak anak-anak berusia sangat muda berjalan ke gereja
dan nampak kitab suci Injil serta buku nyanyian di tangan mereka.

Wellington 1993

disadur dari milis penyair